Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas mengatakan bahwa Indonesia perlu belajar dari Norwegia yang membentuk dewan etik untuk melindungi hak-hak para pensiunan, baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Hal tersebut disampaikannya sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Senin (31/7). “Dana pensiun harus benar-benar diperuntukkan bagi yang berhak. Dipastikan dana tersebut tidak akan dipakai oleh Pemerintah untuk kepentingan apapun apabila bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Misalnya, dana pensiun tidak boleh dipinjam oleh Pemerintah untuk pembelian senjata,” papar Hafid dalam sidang perkara Nomor 18/PUU-XV/2017 tersebut.
Dikatakan Hafid, pada 2004 Norwegia juga membentuk lembaga pengawas independen internasional untuk memastikan dana pensiun benar-benar diperuntukkan bagi kesejahteraan para pensiunan. Menurutnya, para pensiunan di Norwegia tidak dilibatkan dalam urusan administratif, misalnya harus mengurus gaji pensiun ketika mendekati usia purnabakti.
“Begitu seorang PNS Norwegia memasuki masa pensiun, ia langsung menerima haknya. Tidak ada aturan pembatasan yang hanya membolehkan hak tagih lima tahun terakhir dari hak pensiunnya, apabila ia lalai mengajukan tagihan gaji pensiunnya lebih dari batas waktu,” urai Hafid kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat.
Tak mengherankan, sambung Hafid, pada 2014 dana pensiun PNS di Norwegia bisa mencapai lebih dari US$ 1 triliun yang disimpan oleh Pemerintah Norwegia. “Norwegia hanya berpenduduk 4,7 juta jiwa atau 55 kali lebih kecil jumlah penduduknya dari Indonesia. Namun karena dana pensiunnya dikelola dengan baik dan profesional, maka jumlahnya sangat besar. Padahal, dana pensiun PNS di Indonesia potensial untuk melebihi dana pensiun di Norwegia,” imbuh Hafid.
Penerapan Norma
Sementara itu, Ahli Hukum Administrasi Keuangan Negara W. Riawan Tjandra mengatakan, rumusan norma Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara yang menyebutkan “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang” mengandung tiga landasan hukum administrasi negara, yaitu wewenang, prosedur, dan substansi.
“Dengan demikian, diperlukan pengaturan operasional untuk memenuhi elemen-elemen norma hukum tersebut agar permohonan Pemohon dapat dipenuhi dalam pelaksanaan norma hukum di ranah pelaksanaan fungsi pemerintahan. Sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ucap Riawan sebagai ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah.
Namun, lanjutnya, bukan dengan cara membatalkan keberlakuan norma hukum tersebut. Sebab, akan berpotensi timbulnya secara masif tuntutan pembayaran utang atas beban negara maupun daerah kepada pemerintah yang melampaui maksud permohonan dan tuntutan permohonan dari Pemohon yang sejatinya hanya menyangkut jaminan pensiun.
“Kondisi itu bisa mengganggu terwujudnya asas kepastian hukum dan tertib penyelenggaraan negara yang juga bersumber dari nilai-nilai konstitusional sebagaimana terkandung dalam UUD 1945,” imbuhnya.
Sehubungan uraian di atas, Riawan berpendapat bahwa permohonan Pemohon sebenarnya adalah merupakan isu legalitas mengenai penerapan norma hukum undang-undang. Dengan demikian, menurutnya, tak memadai jika digunakan sebagai argumentasi untuk menjadikannya sebagai isu konstitusionalitas mengenai berlakunya norma hukum dalam undang-undang.
“Kami memperkuat permohonan dari jawaban Presiden pada persidangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 18/PUU-XV/2017 agar permohonan Pemohon ditolak seluruhnya,” tegasnya.
Sementara, PT Taspen selaku Pihak Terkait menjelaskan bahwa pengelolaan dana iuran pensiun yang bersumber dari iuran peserta sebesar 4,75 persen telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.02/2015. Sedangkan, tata kelola pembayaran manfaat pensiun beban APBN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/2015.
“Mekanisme tata kelola, penggunaan dan pengembangan dana iuran pensiun dilakukan secara maksimal dan optimal dengan mempertimbangkan aspek-aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai serta memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independen, dan fairness,” ungkap Direktur Renbang dan Teknologi Informasi PT. Taspen Faisal Rachman.
Lebih lanjut, Faisal menjelaskan apabila PNS diberhentikan tanpa hak pensiun baik dengan hormat atau tidak dengan hormat, maka berhak atas nilai tunai yang merupakan bagian dari iuran pensiun dan pengembangannya. “Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/MK.02/2008,” tandasnya.
Sebelumnya, aktivis Sri Bintang Pamungkas mempersoalkan Pasal 40 ayat (1) UU a quo terkait adanya batasan kadaluwarsa terhadap hak tagih pembayaran pensiun bagi pegawai negeri. Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara menyebutkan, “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Selama 37 tahun, Pemohon mengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan terhitung mulai bulan Juli 2010 menjadi pensiunan pegawai negeri sipil (PNS). Saat pensiun, Bintang belum memiliki Surat Keterangan Penghentian Pemberian Gaji (SKPP). Pada 6 Oktober 2016 Pemohon menyerahkan SKPP ke PT. Taspen dan diperoleh perhitungan ada kekurangan 16 bulan dari 76 bulan pensiun yang seharusnya diterima. Menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, masa berlaku maksimum pembayaran pensiun yang bisa dibayar kepada Bintang adalah 60 bulan. Hal ini mengakibatkan Bintang menderita kerugian materiil yang nilainya sebesar 16 bulan pensiun yang seharusnya dapat diterima Pemohon.
Menurut Bintang, frasa “jatuh tempo” adalah istilah yang biasa dipakai manakala batas waktu yang diwajibkan perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis, sedangkan tidak ada perjanjian apapun yang dibuat antara PNS dengan pemerintah, maka seharusnya frasa “jatuh tempo” Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
(Nano Tresna Arfana)