Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dengan perkara Nomor 35/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (31/7). Agenda sidang adalah perbaikan permohonan. Pemohon diwakili oleh Artha Dewi Nurhajah selaku kuasa hukum.
Pemohon memperbaiki dan memperjelas pokok-pokok permohonannya, antara lain terkait pengertian TPPU. “Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak lanjut dari sebuah kejahatan. Sebab, tindak pidana pencucian uang tidak dapat berdiri sendiri dan harus didahului oleh tindak pidana asal,” ucap Artha kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dikatakan Artha, ketentuan UU TPPU tidak mewajibkan pembuktian tindak pidana asal terhadap tersangka dalam tindak pidana pencucian uang. Dengan keadaan tersebut, Pemohon mendalilkan mengalami kerugian konstitusional. Sebab, berdasar proses persidangan Pemohon terbukti tidak melakukan tindak kejahatan narkoba, namun dikenakan pasal TPPU.
“Dengan argumentasi itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran konstitusional jumlah minimum transaksi keuangan yang dapat dicurigai sebagai tindak pidana pencucian uang dan dikecualikan terhadap transaksi untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” urai Artha.
Pemohon juga telah memperbaiki format dan sistematika permohonan sesuai nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Selain itu, Pemohon mengurangi pasal-pasal yang diuji menjadi hanya Pasal 1 angka 5 dan Pasal 69 UU TPPU. “Kemudian untuk batu ujinya, sebelumnya terdapat Pasal 28D ayat (1), Pasal 26 ayat (1) huruf I dan Pasal 28I ayat (1). Sekarang hanya Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,” imbuhnya.
Sebelumnya, menurut Pemohon Pasal 1 angka 5 UU TPPU yang telah menentukan jenis-jenis transaksi yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan. Namun, ternyata nilai nominal minimum agar suatu transaksi dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan ternyata tidak diatur dalam pasal tersebut.
Dijelaskan Pemohon, hakikat dibentuknya UU TPPU untuk menjaring para pelaku kejahatan, khususnya pelaku kejahatan kelas kakap. Sehingga, harus terdapat suatu batasan nilai nominal tertentu dari suatu tindak pidana asal, agar kemudian untuk disamarkan oleh pelaku kejahatan tindak pidana asal, agar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang.
Menurut Pemohon, patut dan wajar apabila dipertegas suatu batasan dalam bentuk nilai nominal transaksi minimum untuk dapat dikategorikan sebagai “transaksi yang mencurigakan” sebesar Rp500.000.000 karena “transaksi yang mencurigakan” akan dapat berfungsi sebagai “bukti permulaan” atas dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang.
“Berdasarkan Pasal 69 UU No. 8/2010 untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang, maka tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu,” ujar Artha. Dalam hal ini seharusnya dipahami bahwa yang dimaksud dengan “tidak wajib dibuktikan terlebih dulu” adalah tidak wajib adanya putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht).
(Nano Tresna Arfana/lul)