Sidang untuk dua perkara pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (27/7). Agenda sidang perkara yang mempersoalkan hak angket DPR tersebut adalah perbaikan permohonan.
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), selaku Pemohon Nomor 36 PUU-XV/2017, mempertegas pokok permohonannya. Menurutnya, apabila mengacu pada pemahaman DPR, hak angket dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan kepada lembaga-lembaga negara independen seperti KPK. Pemahaman tersebut, menurut Pemohon, adalah tidak tepat
“Hak angket merupakan wujud hubungan antara lembaga negara yang berlangsung pada tingkat ketatanegaraan. Karena konsekuensi sistem pemerintahan presidensial, maka penggunaan hak angket oleh DPR hanya ditujukan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Victor Santoso Sandiasa kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Pemohon menjelaskan hak angket untuk Pemerintah, dalam arti Presiden dan kewenangan eksekutif di bawahnya, sinergi dengan penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3. “Ketentuan tersebut menyebutkan secara eksplisit dan limitatif bahwa yang bisa diangket hanya Presiden dan Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima Tinggi, Jaksa Agung, lembaga negara, lembaga nonkementerian yang memang dalam lingkup eksekutif,” tambahnya.
Dalam perbaikan permohonannya, Pemohon juga menjelaskan adanya perubahan Pemohon. “Perubahan pertama bahwa Pemohon I adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang maju sebagai organisasi. Selain itu kami lebih menguraikan kerugian-kerugian konstitusional Pemohon dan menambah teori-teori hukum untuk memperkuat argumentasi Pemohon,” ungkap Victor.
Perbaikan Tertulis
Sementara Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XV/2017 tidak hadir dalam persidangan. Namun, Majelis Hakim menjelaskan telah menerima perbaikan permohonan Pemohon secara tertulis. Adapun Pemohon perkara Nomor 37 adalah Direktur Eksekutif LIRA Institute Horas A.M. Naiborhu. Ia mendalilkan hak angket adalah hak konstitusional DPR dalam rangka hubungan ketatanegaraan dengan Pemerintah. Konsekuensi dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, menurutnya, yang berwenang mewakili Pemerintah dalam hubungan dengan DPR sesungguhnya adalah Presiden. Adapun badan-badan dan/atau jabatan-jabatan di bawah Presiden tidak mempunyai kapasitas untuk berhubungan atas nama dan untuk kepentingan sendiri dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Menurut Pemohon, Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 telah mengaburkan esensi hak angket sebagai wujud hubungan antarlembaga negara yang berlangsung pada tingkat ketatanegaraan. Sebab, penjelasan tersebut telah menarik badan-badan dan/atau jabatan pemerintahan di bawah Presiden ke dalam ranah jangkauan hak angket oleh DPR. Padahal konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensial adalah hak angket oleh DPR semestinya hanya dapat ditujukan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.
(Nano Tresna Arfana/lul)