Persyaratan yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol) merupakan salah satu persyaratan pembentukan parpol nasional maupun lokal yang bertujuan untuk memperkuat basis parpol dalam masyarakat. Selain itu, ketentuan tersebut juga bertujuan untuk memperluas partisipasi masyarakat sebagai upaya peningkatan legitimasi dan kualitas demokrasi partai sebagai representasi aspirasi masyarakat. Pemerintah juga menganggap persyaratan tersebut dapat memperluas partisipasi masyarakat sebagai penyalur aspirasi yang hak-hak konstitusionalnya dijamin dalam UUD.
Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Wahid Masru, Direktur Jenderal Peraturan Perundangan Departemen Hukum dan HAM yang memberikan keterangan mewakili Pemerintah dalam persidangan uji UU Parpol di ruang sidang Pleno gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (4/12). Dalam sidang yang dpimpin langsung oleh Ketua MK tersebut, hadiri pula Mualimin Abdi mewakili Pemerintah serta Lieus Sungkharisma (Ketua Umum Partai Reformasi Tionghoa Indonesia/PARTI) selaku Pemohon.
Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Natabaya mempertanyakan legal standing Pemohon yang menganggap seolah kerugian konstitusional akibat ketentuan tersebut dialami oleh partai Pemohon yang saat ini sudah tidak ada. Padahal dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan sebagai perorangan.
Atas pertanyaan tersebut, Pemohon menjelaskan bahwa partainya didirikan berdasarkan UU No. 2 Tahun 1999. Namun setelah UU tersebut dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan UU No. 31 Tahun 2002, partainya tidak bisa lagi menjalankan aktivitas kepartaian. âPersyaratan dalam UU a quo menyebabkan partai kami tidak berbadan hukum, hal inilah yang kami anggap merugikan hak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat,â aku Lieus.
Pada sidang sebelumnya (13/11) Pemohon menganggap diskriminasi terhadap peran masyarakat Tionghoa untuk turut serta dalam pembangunan telah dimulai sejak adanya surat edaran dari Presidium kabinet Ampera Nomor SE06/Peskap/1967 tanggal 20 Juni 1967 yang menginstruksikan kepada seluruh jajaran pemerintahan, birokrasi, sipil, dan militer untuk secara formal mengganti penyebutan Tionghoa menjadi Cina dan Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Cina.
Menurut Pemohon, kantor pengacara Drs. Edi Sadli, S.H. and partners pada 10 Agustus 2001 telah mengajukan petisi kepada Presiden RI Ibu Megawati untuk mencabut surat edaran. Namun hingga kini petisi tersebut tidak mendapat respon positif. Untuk itu, Pemohon berencana akan menjadikan surat edaran tersebut sebagai bukti tambahan dalam perkara uji materiil ini, selain juga akan mengajukan ahli ketatanegaraan.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Majelis meminta apabila Pemohon maupun pemerintah bermaksud mengajukan Saksi atau Ahli, agar memberitahukan terlebih dahulu usulan Saksi/Ahli tersebut kepada Majelis. (Mastiur A.P)