Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Kamis (27/7). Agenda sidang perkara Nomor 15/PUU-XV/2017 adalah mendengar keterangan ahli yang dihadirkan Pemohon.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun memberikan pandangannya terkait konstitusionalitas alat berat, baik dalam UU PDRD, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), maupun Putusan MK. Sebelum menguraikan keterkaitan tiga hal tersebut, Refly menegaskan bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat secara umum sehingga setiap norma hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 tidak bisa lagi dijadikan dasar hukum kebijakan atau tindakan oleh penyelenggara negara maupun warga negara.
Refly menyampaikan pada prinsipnya pengertian alat berat yang ada pada UU PDRD tidak berbeda dengan UU LLAJ meskipun Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 telah menyatakan alat berat dikelompokkan pada kendaraan khusus. “Untuk itu, dalam memahami penafsiran ini, digunakan dua perspektif, yaitu pendekatan konstitusi yang bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat dan pendekatan dengan mendasarkan putusan MK adalah keputusan yang bersifat erga omnes,” paparnya sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon.
Perbedaan Penafsiran
Perkara mengenai alat berat memang telah pernah diajukan dan diputus MK melalui Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2012 dan Nomor 3/PUU-XIII/2015. Refly mengakui ada perbedaan penafsiran antara kedua Putusan tersebut. Pada Putusan Nomor 1/2012, MK menolak permohonan sehingga tidak ada perbedaan antara UU PDRD dan UU LLAJ. Putusan tersebut menetapkan ketentuan bahwa alat berat digolongkan pada kendaraan bermotor. Kemudian pada Putusan Nomor 3/2015, MK mengabulkan permohonan dengan memberikan penekanan pada pengoperasian alat tersebut di jalan raya. MK menyatakan alat berat memiliki perbedaan signifikan dan tidak didesain untuk melakukan perjalanan.
“Untuk itu, berdasarkan pengertian tersebut pengaturan alat berat dikecualikan dari alat lalu lintas jalan dan syaratnya pun tidak dikenakan pada kendaraan bermotor,” imbuhnya.
Namun Refly mencermati adanya perbedaan dari kedua putusan tersebut. Secara logika, menurutnya, apabila MK menghasilkan putusan baru bagi suatu isu, maka putusan sebelumnya untuk isu yang sama tidak dapat dijadikan lagi sebagai landasan hukum yang berlaku. “Dengan arti kata, alat berat dalam keputusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 seharusnya dimaknai dengan mengikat secara umum, baik dari sisi subjek maupun objek sehingga aturan pada putusan sebelumnya tidaklah berlaku lagi,” terang Refly di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Legal Culture di Indonesia
Mengaitkan konstitusionalitas alat berat, Refly melihat adanya keterkaitannya dengan legal culture, yakni ketaatan terhadap hukum di Indonesia yang terkadang lemah. Kendati secara objek putusan MK menyangkut kepentingan semua orang, namun perlu adanya penegasan secara eksplisit dalam putusannya. Sebab, pada beberapa kasus pernah ada putusan MK yang sudah ditetapkan kemudian dihidupkan kembali.
“Di Indonesia, pengujian terhadap undang-undang itu bersifat abstrak. Oleh karena itu, penegasan atas erga omnes atas putusan MK sebaiknya ditegaskan secara ekplisit sehingga segala aturan yang sudah diputuskan sebaiknya tidak dipakai atau tidak berlaku lagi pada pengajuan perkara lainnya,” urai Refly.
Mendapati penjelasan ahli, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna pun meminta penjelasan atas sifat erga omnes yang dikaitkan dengan legal culture. “Secara akademik apakah sifat erga omnes ini mengakibatkan suatu norma yang lain, baik yang sederajat atau tidak, kehilangan sifat binding-nya?” tanya Palguna.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra pun meminta penjelasan yang sama. “Mohon jelaskan konteks erga omnes tersebut. Jika dilihat dari sisi hukum positif Indonesia, bahwa hukum kita mempersempit makna erga omnes dengan merunjuk pada bagian yang diujikan itu, dari sisi hukum positif ada ruang yang membatasinya. Makanya permohonan sebelum ada dalam UU LLAJ, sekarang ada dalam UU PDRD. Bagaimana gagasan tersebut itu ada pembatasannya?” tanya Saldi.
Menjawab hal tersebut, Refly menekankan bahwa kembalinya Pemohon pada MK karena adanya keraguan yang didapatinya pada pihak-pihak yang menjalankan undang-undang. Untuk itu, menurutnya, perlu penegasan terhadap eksistensi alat berat sebagai kendaraan bermotor dalam UU LLAJ setelah adanya Putusan MK dan dikaitkan dengan legal culture.
“Oleh karena itu, perlu ada pernyataan dari MK yang membatalkan eksistensi alat berat dalam UU PDRD dan UU LLAJ ini agar tidak timbul pertentangan dalam masyarakat. Jadi, MK perlu mempersempitnya, maka erga omnes itu berlaku sebagai suatu ajaran,” jawab Refly.
Di akhir persidangan, Arief menyampaikan bahwa persidangan berikutnya akan dilangsungkan pada 21 Agustus 2017 dengan agenda mendengarkan dua keterangan ahli dari Pemohon dan ahli dari Pemerintah.
(Sri Pujianti/lul)