Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu organisasi kemasyarakatan, menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu 2/2017) tentang Organisasi Kemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (26/7). Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra dan Ismail Yusanto sebagai sekretaris umum HTI.
Yusril menjelaskan, sebelum HTI dibubarkan oleh Pemerintah pada 19 Juli 2017, HTI adalah organisasi masyarakat yang berbadan hukum sah. HTI merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62 ayat (1), Pasal 80, Pasal 82A ayat (1), (2), dan (3) Perppu 2/2017.
“Berlakunya norma-norma yang terdapat dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 telah menghilangkan dan mengeliminasi hak-hak Pemohon yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Yusril selaku kuasa perkara Nomor 39/PUU-XV/2017.
Pasal 59 ayat (4) huruf c Perppu 2/2017 berbunyi, “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”.
Sedangkan Pasal 61 ayat (3) menyebutkan, “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) berupa: a. Pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau b. Pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak asasi manusia”.
Kemudian Pasal 62 ayat (1) berbunyi, “Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diberikan peringatan.”
Menurut Pemohon, negara seharusnya melindungi hak asasi manusia warga negaranya dengan konsekuensi aparatur negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Bahwa kepastian hukum harus dijamin oleh negara tanpa terkecuali kepada mereka yang ada dalam organisasi masyarakat.
Pemohon berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 59 ayat (4) huruf c sepanjang frasa “menganut” dan Pasal 61 ayat (3), Pasal 62, Pasal 80, dan Pasal 82A Perppu 2/2017 memungkinkan Pemerintah untuk melakukan tindakan sepihak tanpa mempertimbangkan hak jawab dari ormas. Akibatnya, ketentuan tersebut dapat dimanfaatkan secara sewenang-wenang. Pemohon juga menilai pasal tersebut telah mengambil-alih tugas hakim dalam mengadili perkara.
Kemunduran Demokrasi
Dalam kesempatan yang sama, Mahkamah juga memeriksa perkara pengujian Perppu 2/2017 dengan perkara Nomor 38/PUU-XV/2017. Pemohon adalah Afriady Putra yang berprofesi sebagai advokat. Diwakili Virza Roy Hizzal, Pemohon mengungkapkan Perppu tersebut telah membuat Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Ketentuan yang diujikan, menurut Pemohon, mengatur pembubaran ormas tanpa adanya proses pengadilan dan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi serta tidak diberikan hak untuk membela diri. “Benar-benar menghilangkan hak-hak membela diri dan memberikan klarifikasi,” ungkap Virza yang tergabung dalam Organisasi Advokat Indonesia (OAI).
Pemohon beranggapan, terdapat perbedaan mendasar antara Perppu a quo dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Dalam UU Ormas, untuk dapat membubarkan suatu organisasi masyarakat, diperlukan upaya-upaya pendahuluan hingga saat dibubarkan. Menurut Pemohon, UU Ormas memuat upaya persuasif, mekanisme peringatan tertulis, pembekuan sementara, dan mekanisme yudisial. Namun, pada Perppu a quo, upaya-upaya tersebut dihilangkan.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon Perkara Nomor 38, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon Perkara Nomor 38 agar lebih mempertajam petitum dan menguraikan lebih detail kedudukan hukumnya. Sedangkan Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang menyarankan Pemohon bahwa hal-hal di luar permohonan tertulis sebaiknya tidak disampaikan pada persidangan pendahuluan. “Pernyataan Pemohon di luar permohonan sebaiknya disampaikan setelah permohonan diperbaiki,” tandas Arief.
Sementara, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyoroti kedudukan hukum Pemohon sebagai perorangan warga negara atau sebagai advokat. “Kalau sebagai advokat, di mana kerugian hak konstitusionalnya? Anda harus menjelaskan hal ini,” ucap Palguna. Adapun terhadap Perkara Nomor 39, Palguna mengamati kedudukan hukum Pemohon. “Dalam kedudukan hukum Pemohon setidak-tidaknya harus dijelaskan siapa yang boleh bertindak atas nama Hizbut Tahrir Indonesia,” jelasnya.
(Evita Sari/Nano Tresna Arfana/lul)