Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima uji materiil Pasal 193 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan Nomor 30/PUU-XV/2017 yang diajukan Zain Amru Ritong tersebut diucapkan Rabu (26/7) di Ruang Pleno Gedung MK.
“Mengadili, menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” ucap Arief mengucapkan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyampaikan penahanan dalam perkara pidana terhadap seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan tingkat pertama dapat dilakukan. Hal tersebut karena dikhawatirkan terdakwa akan melarikan diri meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, tindakan demikian diperbolehkan oleh hukum di negara mana pun, dengan catatan hal tersebut dilakukan atas perintah pengadilan dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang.
Tidak dapat dipungkiri, lanjut Mahkamah, tindakan penahanan adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan individu. Namun, pembatasan yang dimaksudkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Hal itu guna memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan ketertiban umum dalam masyarakat, termasuk dalam kasus yang dialami Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam perkara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr. yang dijadikan contoh potensi dari kerugian konstitusional yang diderita Pemohon.
“Dengan demikian, pasal a quo secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon,” terang Hakim Konsitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum.
Menurut Mahkamah dalam perkara a quo Pemohon sesungguhnya tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal yang dimohonkan tersebut. Kendati terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon sehingga pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dikabulkan, tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap hak konstitusional Pemohon. Sebab, yang akan terjadi justru ketidakpastian hukum, terutama terhadap seseorang yang telah dijatuhi pidana namun tidak mempunyai itikad baik sehingga yang bersangkutan dapat menggunakan kesempatan itu untuk menghindari pelaksanaan putusan, merusak, menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau mengulangi perbuatannya.
(Sri Pujianti/lul)