Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (25/7). Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon.
Saksi Pemohon Dhanasari Vidyawati Trisna menyebut IDI selama ini melakukan politik praktis. Hal tersebut berkaitan dengan beragam upaya yang dilakukan untuk menolak program Dokter Layanan Primer (DLP). “Misal pengarahan demonstrasi menolak DLP saat hari purna bakti IDI,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Hal tersebut diketahuinya melalui surat edaran yang ditujukan pada pengurus IDI tingkat wilayah dan kota. Peserta yang ikut dalam demonstrasi, jelasnya, akan diberikan nilai satuan kredit profesi (SKP) dengan nilai 5 sampai 6. Pentingnya pengumpulan SKP bagi dokter adalah syarat agar mereka dapat berpraktik. Ia mencontohkan SKP untuk penulisan jurnal ilmiah saja hanya mendapat nilai 4.
“IDI juga mengarahkan anggotanya agar tidak hadir dalam sosialisasi dan pelatihan DLP yang diselenggarakan Kemenkes serta Kemenristekdikti 25 Agustus 2016,” ujar Ketua Perhimpunan DLP tersebut. Padahal, tegasnya, acara tersebut sebagai sarana meluruskan persepsi yang salah terkait program DLP.
Selain itu, Dhanasari menyebut IDI meminta program DLP ditunda pelaksanaanya. Hal tersebut terjadi saat rapat pokja pembahasan DLP 16 Juni 2016 lalu. Pertemuan tersebut dihadiri perwakilan Kemenkumham dan juga Kemenristekditi. “Alasannya sampai menunggu revisi UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran,” jelasnya.
Dirinya menyebut IDI mendorong agar undang-undang tersebut direvisi. Caranya dengan berkunjung langsung ke DPR. Baginya tindakan tersebut merupakan politik praktis yang dilakukan IDI. Ditambah lagi, IDI pun mengerahkan para anggotanya untuk menulis petisi online menolak DLP yang ditujukan ke Jokowi.
Saksi lainnya, Riyani Wikaningrum menjelaskan sisi negatif penyatuan kolegium dengan organisasi profesi IDI.Riyani merupakan mantan anggota Kolegium Dokter Indonesia (KDI) periode 2002 hingga 2003. Sejak 2009, kata dia, kolegium bekerja tak optimal karena menjadi dikooptasi IDI. “Misal keterlibatan wakil dekan bidang akademik makin berkurang. Selain itu, kerja sama kolegium dengan mitra luar terkait pengembangan pengetahuan berjalan tidak lancar,” ujarnya.
Sementara, Ahli yang dihadirkan Pemohon, Taufiqurohman Syahuri, menegaskan Pemohon memiliki legal standing yang jelas. Sebab, profesi mereka adalah pengajar serta praktisi kedokteran yang merasakan dampak langsung pasal a quo. Sehingga kerugian riil dan potensial dapat terjadi ke Pemohon.
Mantan anggota Komisi Yudisial (KY) tersebut juga mengkritisi terkait penafsiran organisasi profesi di bidang kedokteran. “Jika mengacu Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran, IDI adalah organisasi profesi di bidang kedokteran. Namun merujuk pada Pasal 1 angka 20 tidak spesifik menyebut IDI dan hanya menyebut organisasi profesi adalah yang memiliki kompetensi kedokteran yang diakui Pemerintah,” jelasnya.
Pemohon adalah tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter.
(ARS/lul)