Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait frasa “makar” untuk dua permohonan, yakni Nomor 7/PUU-XV/2017 dan Nomor 28/PUU-XIV/2017, Senin (24/7). Agenda sidang kedua perkara tersebut adalah mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon serta DPR.
I Ngurah Suryawan selaku ahli yang dihadirkan Pemohon menyebut Pemerintah gagal dalam menangkap apa yang terjadi di Papua. Hal tersebut berkaitan dengan dengan ekspresi kebudayaan yang dijalankan masyarakat di sana. “Saat mereka melakukan atraksi kebudayaan, malah dikenakan pasal makar,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Antropolog Universitas Negeri Papua (Unipa) itu mencontohkan beberapa persepsi salah dalam memahami budaya Papua. Misal, saat Suku Dani berteriak bergerombol sambil mengecat tubuhnya dengan beragam warna dianggap aneh, padahal itu sebatas ekspresi kebudayaan. Hal demikian terkadang mengundang aparat untuk melakukan pembubaran paksa.
Pemerintah, kata dia, mestinya lebih berusaha mempelajari budaya Papua agar kesalahpahaman bisa terhindarkan. Selain itu, juga agar menciptakan hubungan sinergis dengan masyarakat Papua. Baginya salah jika pendekatan yang dilakukan sebatas politik semata. Sebab, urgensi memecahkan masalah yang berkembang di Papua adalah melalui kebudayaan.
“Jadi jangan sedikit sedikit dikenai pasal makar. Ini dapat mematikan dan mengekang ekspresi kebudayaan masyarakat Papua,” tegasnya.
Dirinya mencontohkan kebudayaan Papua yang khas dan bernilai positif. Misal, tradisi mop yang bentuknya semacam standup comedy saat ini. Isinya adalah melakukan kritik pada masalah kehidupan secara satir dan jenaka.
Sementara, Saksi Pemohon Yudi Pratama menceritakan pengalamannya terkena pasal makar saat masih menjadi anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Menurutnya, sejak saat itu kehidupan sosialnya menjadi kacau karena mendapat stigma dari lingkungan terdekatnya. “Kami mendapat kerugian materiil, psikologis, serta kebebasan yang terenggut,” jelasnya.
Yudi menceritakan pihaknya yang diusir paksa dari Kalimantan akibat diketahui sebagai anggota Gafatar. Selain itu, kawannya juga mendapat peristiwa tidak mengenakkan saat mengurus SKCK. “Teman saya ditulis terlibat tindakan kriminal. Padahal, putusan pengadilan terkait Gafatar saat itu belum diputuskan,” tegasnya.
Sementara Ahli Pemohon lainnya Made Darma Weda mempermasalahkan terkait definisi makar yang belum ada di KUHP. Idealnya makar harus didefinisikan dalam bentuk perilaku yang lebih jelas. Ini agar dapat dibedakan tindak pidana makar dengan tindak pidana lainnya. “Selama ini rujukannya pasal 87 KUHP. Tapi tak ada defines apa itu makar,” jelas Dosen Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana tersebut.
Adapun Anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Adies Kadir menyebut upaya menggulingkan Pemerintah tak selalu diwujudkan dalam perbuatan mengangkat senjata atau tindak kekerasan. Penggulingan tersebut dapat juga dilakukan melalui hasutan. “Artinya ketentuan tersebut merupakan langkah preventif untuk melindungi negara. Makar dalam konteks tersebut dimaknai secara luas,” tegasnya.
Pemohon perkara Nomor 28/PUU-XV/2017 adalah Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai, dan Pastor John Jonga, serta Yayasan Satu Keadilan dan Gereja Kemah Injil di Papua. Mereka menguji Pasal 104, serta Pasal 106 hingga Pasal 110 KUHP. Menurutnya, ketentuan mengatur soal makar tersebut digunakan Pemerintah untuk mengkriminalisasi Pemohon serta telah merugikan hak konstitusional Pemohon selaku warga negara.
Adapun perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 diajukan oleh LSM Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka menguji Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP. Mereka memandang tak ada kejelasan definisi kata aanslag yang diartikan sebagai makar. Padahal makar berasal dari kata Bahasa arab, sementara aanslag lebih tepat diartikan sebagai serangan. Hal tersebut menurut mereka mengaburkan makna dasar dari kata aanslag.
(ARS/lul)