Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman secara resmi menutup kegiatan Bimbingan Teknis Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bagi para dosen hukum tata negara/administrasi negara di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Bogor, Rabu (19/7). Dalam sambutannya, Anwar menekankan keikutsertaan para dosen dalam kegiatan Bimtek merupakan salah satu langkah dan sarana yang baik untuk mencari ilmu.
“Dalam Al Quran yang artinya ‘… dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit…’, jelas sekali betapa pentingnya mencari ilmu. Hukum acara MK merupakan ilmu baru bagi para Bapak/Ibu peserta Bimtek. Walaupun sebenarnya MK sudah berdiri sejak 2003 silam, tetapi masih banyak yang belum tahu,” sambut Anwar.
Anwar menyebutkan bahwa perdebatan yang sekarang terjadi sesungguhnya sebuah bukti masih banyaknya rakyat, bahkan pejabat yang belum mengetahui dengan baik hak-hak konstitusionalnya. Pada akhir sambutannya, Anwar berharap para dosen peserta Bimtek menyebarkan secara lebih luas ilmu yang diperoleh selama Bimtek. Tidak hanya pada mahasiswa Fakultas Hukum, tetapi juga pada masyarakat sekitar.
Nilai-Nilai Pancasila
Pada sesi materi, E. Winarto dariLemhanas memaparkan makalah yang berjudul “Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Menjaga NKRI”. Ia menyatakan bahwa keruntuhan negara dapat terjadi karena nilai-nilai kebangsaan yang tidak tertanam dalam jiwa. “Artinya harus ada pengikat jiwa sehingga tidak hanya pada pemahaman bahwa kita memang berbeda, tetapi perlu jiwa yang benar-benar memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, yakni religiusitas, kekeluargaan, keselarasan, nilai kerakyatan, dan keadilan sosial bagi warga negara sehingga dapat mengurangi konflik-konflik sosial,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Sudjito dalam makalahnya yang berjudul “Reaktualisasi dan Implementasi Pancasila dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” juga menegaskan bahwa tidak ada negara yang lebih unggul dalam ketatanegaraannya. “Hal yang menonjol adalah unikum dari masing-masing negara, dan Indonesia punya Pancasila. Ada empat fungsinya, Pancasila sebagai pandangan hidup yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, Pancasila sebagai philosophiche grondslag yang harus ditafsirkan secara objektif bukan subjektif, Pancasila sebagai paradigma ilmu, dan Pancasila sebagai ideologi, yang mana Pancasila dalam ketatanegaraan tersebut tidak lepas dari UUD 1945” terang dosen yang mengajar HTN di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta itu.
Terkait dengan Pancasila dan Hukum Acara di MK, Janedjri M. Gaffar, Staf Ahli Ketua MK dalam paparan materinya yang berjudul “MK dan Hukum Acara PUU terhadap UUDNRI Tahun 1945” juga menerangkan dalam praktik hukum acara MK saat ini tidak hanya menjadikan UUD 1945 sebagai batu uji, tetapi juga Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu pemahaman yang benar-benar baik terhadap kedua hal ini bagi para penggunanya.
Pemahaman Teori Konstitusi dan Konsep HAM
Jimly Assiddiqqie, yang pernah menjabat sebagai Ketua MK Periode 2003 – 2008 dalam makalahnya yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme” menyampaikan bahwa hukum tata negara berlaku umum dan secara teori tidak mengalami kemajuan akibat dari ahli tata negara yang lebih pada domestic oriented. “Oleh karena itu, jadikanlah hukum tata negara itu menjadi ilmu pengetahuan yang dinamis dan terus berkembang. Untuk itu perlu dikembangkan teori tentang Konstitusi dan konstitusionalisme oleh para akademisi sehingga Konstitusi tidak bisa hanya dipahami sebagai Konstitusi politik tetapi juga Konstitusi ekonomi, budaya, dan lainnya,” imbaunya pada seluruh peserta Bimtek.
Terkait dengan Konstitusi dan HAM, Susi Dwi Harijanti yang memaparkan makalah berjudul “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945” menyampaikan bahwa Konstitusi tidak hanya dokumentasi hukum, tetapi juga merupakan refleksi dari sebuah negara dan jiwa bangsa. Untuk itu, mengenai adanya perubahan dalam Konstitusi seperti Perpu dan setingkatnya Susi menyoroti bahwa “Materi dalam Perpu harus berbeda dengan UU karena Perpu berkaitan dengan hak asasi dan berpotensi menghasilkan kesewenang-wenangan. Jadi, materinya harus dibatasi dan diawasi,” terang pakar hukum tata negara yang mengabdikan ilmunya di Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung itu.
Sementara, Amzulian Rifai selakuKetua Ombudsman dalam paparan materinya mengaitkan Konstitusi dan HAM yang dalam praktiknya harus mengikuti perkembangan dunia internasional. Dalam tema “Perlindungan HAM Global, Regional, dan Nasional”, Amzulian menyampaikan HAM baru dikenal dengan baik di Indonesia pada 1998. Sedangkan di Eropa hal itu telah mengglobal sejak Perang Dunia dan baru berhasil setelah Amerika memberlakukan syarat-sayarat HAM untuk bantuan militer dan pinjaman.
“Di Asia pernah dilakukan upaya penegakan HAM, namun belum berhasil. Di Eropa, mengenai HAM masyarakatnya sudah memiliki konvensi khusus untuk perlindungan dan pengadilan HAM sehingga sistemnya makin kuat,” terangnya.
Usai pembekalan materi dari pakar-pakar Konstitusi dan hukum tata negara, peserta Bimtek akan mengakhiri kegiatannya dengan studi ekskursi ke MK Jakarta pada 20 Juli 2017 untuk melihat secara langsung praktik hukum acara di MK.
(Sri Pujianti)