Masa Jabatan Hakim Konstitusi Konstitusional
Kamis, 20 Juli 2017
| 09:46 WIB
Tjip Ismail beserta Dian Simatupang selaku Pemohon Prinsipal hadir dalam persidangan pengucapan amar putusan perkara uji materi UU MK, Rabu (19/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia. Putusan dengan Nomor 73/PUU-XIV/2016 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya, Rabu (19/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon menguraikan bahwa berlakunya pasal 22 UU MK bersifat diskriminatif dan berpotensi membatasi MK untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, ketentuan yang mengatur pembatasan jabatan Hakim Konstitusi tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, khususnya pasal 24 dan 24C. Dengan mengajukan permohonan, para Pemohon berharap agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 22 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, Mahkamah tidak menemukan relevansi antara latar belakang maupun tujuan pembentukan CSSUI dihubungkan dengan pokok permohonan. Mahkamah, lanjutnya, tidak menemukan kerugian hak konstitusional Pemohon, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh berlakunya Pasal 22 UU MK.
“Oleh karena Pemohon tidak dapat secara jelas dan meyakinkan bahwa dirinya memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 22 dan Pasal 4 ayat (3) UU MK,” jelas Aswanto.
(Lulu Anjarsari)