Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), Rabu (19/7) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, yaitu Achmad Subianto sebagai pakar ekonomi.
Pada persidangan, Achmad Subianto menjelaskan mengenai tabungan hari tua (THT) dan pensiun serta jaminan sosial lain bagi pegawai negeri sipil (PNS). “Pada dasarnya, setiap PNS ketika menerima gaji dan penghasilan lainnya telah dipotong dengan 10% untuk iuran THT, pensiun dan jaminan sosial lainnya,” kata Achmad kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Dijelaskan Achmad, iuran THT, pensiun dan jaminan sosial lainnya dari PNS yang 10% berasal dari gaji dan penghasilan mereka dikelola oleh badan usaha yang dibentuk oleh pemerintah yaitu PT. TASPEN yang mengelola 8% dan PT. ASKES yang sekarang BPJS Kesehatan yang mengelola 2%.
“Iuran yang 10 % terbagi menjadi 8% untuk iuran THT dan pensiun. Sedangkan 2% merupakan iuran untuk jaminan kesehatan. Selain itu, ada tabungan perumahan yang nilainya ditentukan berdasarkan nilai rupiah yang dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan PNS,” papar Achmad.
Achmad melanjutkan iuran THT, pensiun dan jaminan sosial lain tersebut sudah bukan dana APBN lagi. Tetapi merupakan kontribusi PNS untuk program dan iuran THT, pensiun, dan jaminan sosial lain yang diambilkan dari bagian gaji dan penghasilannya.
“Seharusnya kontribusi iuran THT, pensiun tidak hanya diberikan oleh PNS saja. Tetapi juga oleh pemberi kerja yaitu Pemerintah seperti halnya yang berlaku untuk jaminan kesehatan. Memang terjadi ketidakadilan. Pemerintah dalam kebijakannya telah menginstruksikan kepada BUMN dan swasta untuk pemberi kerjanya memberikan iuran atas THT dan dana pensiun karyawannya. Tetapi untuk aparatur negaranya sendiri pemerintah tidak memberikan iuran,” urai Achmad.
Hal itu, sambung Achmad, tercantum dalam UU SJSN dan juga UU ASN bahwa Pemerintah harus memberikan iuran untuk aparatur negaranya. Namun sampai saat ini belum dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan di seluruh dunia termasuk negara-negara ASEAN, pemerintahnya telah memberikan iuran untuk program THT, pensiun dan jaminan sosial aparatur negaranya.
“Jadi seharusnya PT. Taspen dapat membayarkan semua THT dan pensiun dari PNS tanpa pemotongan apapun kecuali pajak. Pengawasan yang intensif dari Persatuan Wredatama Republik Indonesia dan Korps Pegawai Republik Indonesia kepada PT. Taspen sangat diharapkan agar PT Taspen dapat melaksanakan aktivitasnya sesuai visi dan misinya,” tandas Achmad.
Belum Dibayar
Selain Ahli Pemohon, MK juga menghadirkan Saksi Pemohon, antara lain Purwadi mantan prajurit TNI Angkatan Darat. Dia menuturkan, haknya sudah lebih dari 30 tahun sebagai prajurit belum pernah diterima. Setelah mengirimkan surat pengaduan ke Presiden Republik Indonesia selaku panglima tertinggi TNI.
“Surat yang saya diberikan adalah hak pesangon maupun tunjangan saya sejak tahun 1981 yang tidak bisa dibayarkan dan dilayani. Perjuangannya selama bertahun-tahun sebagai prajurit TNI Angkatan Darat semoga dapat diselesaikan melalui pengujian Undang-Undang Perbendaharaan Negara,” imbuh Purwadi.
Purwadi berdalih, berlakunya UU Perbendaharaan Negara sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan hak konstitusional Pemohon. Menurutnya, berlakunya undang-undang tersebut, pihaknya merasa sangat dirugikan baik ekonomi, pekerjaan, sosial dan pendidikan.
Sebelumnya, dalam permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 18/PUU-XV/2017, Sri Bintang Pamungkas mempersoalkan Pasal 40 ayat (1) UU a quo terkait adanya batasan kadaluwarsa terhadap hak tagih pembayaran pensiun bagi pegawai negeri. Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara menyebutkan, “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Selama 37 tahun, Bintang mengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan terhitung mulai bulan Juli 2010 menjadi pensiunan pegawai negeri sipil (PNS). Saat pensiun, Bintang belum memiliki Surat Keterangan Penghentian Pemberian Gaji (SKPP). Pada 6 Oktober 2016 Pemohon menyerahkan SKPP ke PT. Taspen dan diperoleh perhitungan ada kekurangan 16 bulan dari 76 bulan pensiun yang seharusnya diterima. Menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, masa berlaku maksimum pembayaran pensiun yang bisa dibayar kepada Bintang adalah 60 bulan. Hal ini mengakibatkan Bintang menderita kerugian materiil yang nilainya sebesar 16 bulan pensiun yang seharusnya dapat diterima Pemohon.
Menurut Bintang, frasa “jatuh tempo” adalah istilah yang biasa dipakai manakala batas waktu yang diwajibkan perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis, sedangkan tidak ada perjanjian apapun yang dibuat antara PNS dengan pemerintah, maka seharusnya frasa “jatuh tempo” Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
(Nano Tresna Arfana/lul)