Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Rabu (19/7) yang dimohonkan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie. Putusan tersebut mengatur syarat pencalonan kepala daerah bagi mantan terpidana.
“Menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim lainnya.
Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menyatakan:
“tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”
Dengan demikian, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada berbunyi “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,”
Adapun untuk Pasal 163 ayat (7) dan (8) UU Pilkada, isi pasal terkait frasa terpidana dan terdakwa merujuk pada perubahan di Pasal 7 ayat (2).
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah mempertimbangkan tiga putusan sebelumnya terkait terpidana atau mantan terpidana yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Tiga putusan tersebut yakni, Putusan 14-17/PUU-V/2007, Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, dan Nomor 42/PUU-XIII/2015.
Pada ketiga putusan itu, Mahkamah telah secara tegas menyatakan sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, pembebanan syarat yang substansinya termuat dalam frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi. Hal tersebut jika persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana.
(ARS/lul)