Ahli: Alat Berat Bukan Obyek Pajak
Selasa, 18 Juli 2017
| 19:09 WIB
Mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki ahli yang dihadirkan pihak Pemohon saat menyampaikan keahliannya dalam sidang perkara pengujian UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Selasa (18/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Selasa (18/7). Agenda sidang perkara Nomor 15/PUU-XV/2017 adalah mendengar keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan Pemohon, serta DPR.
Mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki menegaskan alat berat bukanlah obyek pajak, sehingga pemiliknya tidak dapat dikenakan pajak. “Ini obyek pajaknya tidak ada. Jika tidak ada obyek pajak tetapi masyarakat tetap ditarik pajak, artinya itu perampokan,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar tersebut merujuk pada Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015. Dalam putusannya, MK menyatakan alat berat adalah sarana produksi dan bukan moda transportasi. Dengan kata lain, alat berat tidak dapat dikategorikan sejenis dengan motor maupun mobil sehingga alat berat seharusnya tidak dikenakan pajak. “Putusan MK terdahulu memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga wajib dipatuhi,” tegasnya.
Sementara, saksi Pemohon Tjahyono Imawan menyebut dirinya selalu membayar pajak untuk alat berat miliknya. Meski demikian, dirinya tidak memiliki surat legalitas seperti STNK maupun BPKB untuk alat berat. “Setelah membayar pajak sebatas diberikan bukti pembayaran saja. Kalau dikenakan pajak, harusnya alat berat memiliki STNK dan BPKB juga idealnya,” ujarnya.
Tidak Miliki Legal Standing
Adapun DPR, diwakili Anggota Komisi III DPR Teuku Taufiqulhadi menilai Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional. Menurutnya, permohonan Pemohon adalah terkait dengan penerapan norma. “Pemohon tidak memiliki legal standing. Kami meminta MK memutus permohonan tidak dapat diterima,” jelasnya.
Sebelumnya Tiga perusahaan kontraktor, yakni PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Japan menguji ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD. Diwakili Ali Nurdin, Pemohon menyampaikan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 pada April 2016 lalu yang menyatakan alat berat bukan moda transportasi sehingga syarat kendaraan bermotor dalam UU LLAJ tidak boleh diterapkan kepada alat berat. Namun, alat berat masih dikenakan pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor sebagaimana diatur UU PDRD.
Menurut Pemohon, pajak yang disamakan dengan kendaraan bermotor tersebut berakibat pada dikenakannya denda, kurungan atau pidana, bahkan penagihan pajak dengan paksa pada pemilik alat berat. Dengan demikian, terdapat adanya pelanggaran atas hak konstitusional dan perlakuan yang diskriminatif.
Pemohon menekankan, pada hakikatnya tidak keberatan dengan adanya pajak atau retribusi, namun bukan berdasar ketentuan yang berlaku bagi kendaraan bermotor. Hal tersebut lantaran dasar hukum atas pengertian alat berat yang bukan moda transportasi sebagaimana Putusan MK.
(ARS/LUL)