Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (18/7). Agenda sidang perkara Nomor 32/PU-XV/2017 tersebut adalah perbaikan permohonan.
Salah seorang kuasa hukum Pemohon, M. Andrean Saefudin menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan, antara lain kedudukan hukum Pemohon. “Ada penegasan di sini bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara yang memiliki kualifikasi sebagai Pemohon,” jelas Andrean kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul tersebut.
Terkait substansi permohonan, Pemohon telah melakukan perbaikan berdasarkan masukan-masukan pada sidang sebelumnya, yaitu dengan menambahkan batu uji Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
“Sedangkan untuk petitum, tidak ada renvoi di poin 1 tapi kita ada perubahan di poin 2 dan poin tiga dihapus, Yang Mulia. Kemudian ada perubahan sedikit mengenai sistematika penulisan di petitum nomor 2,” imbuh Andrea.
Pemohon adalah Tajudin bin Tatang Rusmana, seorang pembuat cobek yang mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007 yang menyatakan, “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pemohon menilai ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara detail maksud dari frasa “perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, maupun penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi”.
Pemohon juga menilai kerugian konstitusional Pemohon semakin tampak jika frasa “untuk tujuan mengeksploitasi orang” tidak dimaknai dengan adanya unsur melawan hukum. Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan sebagai korban kriminalisasi akibat penafsiran frasa tersebut. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1608/Pid.Sus/2016/PN.Tng, Pemohon dinyatakan melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 88 UU 35/2014 jo. Pasal 64 KUHP.
Pemohon merupakan pembuat cobek asal Desa Jaya Mekar, Kecamatan Padalarang. Kabupaten Bandung Barat yang sempat menjalani hukuman selama sembilan bulan dengan dakwaan mempekerjakan anak di bawah umur. Sebelumnya, Tajudin ditangkap petugas Kepolisian Resor Tangerang Selatan pada 20 April 2016 dan dibebaskan pada 14 Januari 2017 karena tidak terbukti atas dakwaan tersebut.
(Nano Tresna Arfana/lul)