Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia menganut filosofi paradigma pendidikan dalam abad ke-21 yang tidak memungkinkan hukuman dengan kekerasan sebagai alat untuk mendidik. Hukuman dalam proses pendidikan harus digunakan dalam rangka mendidik, mencerdaskan, dan memuliakan peserta didik. Hal tersebut ditegaskan oleh Pengamat Pendidikan Nasional Fasli Jalal selaku Ahli Pemerintah dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Sidang ketujuh perkara dengan Nomor 6/PUU-XIV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya selaku Ahli Pemerintah, Jalal juga mengungkapkan objek pengujian yang dimohonkan terkait hukuman untuk peserta didik melalui perlindungan pada guru dan relasi interaktif antara guru dengan orang tua peserta didik tidaklah cukup. Menurutnya, tidak bijak apabila esensi dan fungsi hukuman tersebut hanya dilihat dengan menggunakan doktrin in loco parentis yang berasal abad ke-18 itu.
“Berdasarkan pendapat tersebut, perlindungan terhadap peserta didik sebagai insan yang harus dimuliakan vide Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak dan perlindungan terhadap guru profesional pemulia peserta didik vide Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen masih tetap diperlukan dan masih sesuai dengan amanat Konstitusi vide Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Jalal membantah dalil Pemohon yang menyebut guru menjadi takut untuk memberikan hukuman kepada anak didik lantaran adanya kekhawatiran terjerat pasal-pasal yang dimohonkan. Ia menerangkan jika seorang guru dipersiapkan sejak dari pendidikan profesinya selama empat tahun, maka ia menguasai semua kompetensi. Dalam konteks itu, guru sudah bisa melakukan berbagai cara untuk melakukan proses pendidikan atau penghukuman positif pada anak. Ia menambahkan masih banyak cara melakukan penghukuman positif tanpa melakukan kekerasan fisik, verbal, apalagi secara fisiologis.
Dengan demikian, menurutnya, tidak ada alasan bagi seorang guru tidak profesional dalam menjalankan tugasnya karena mengalami ketakutan, baik takut dituntut oleh hukum, atau oleh orang tua, atau diduga akan melanggar etika profesi. “Kecemasan itu akhirnya dia biarkan tidak melakukan fungsi dia sebagai guru profesional, yakni memberikan pendidikan yang membantu pembentukan watak muridnya,” tegasnya.
Lewat DKGI
Sementara itu Ketua PGRI Jawa Tengah Widadi selaku Ahli Pemohon, menjelaskan Dewan Kehormatan bisa menjadi alternatif guna menyelesaikan persoalan mengenai kriminalisasi guru sebelum dibawa ke Kepolisian. PGRI telah membentuk Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) guna mengatasi kasus seperti yang dialami Pemohon. Dewan kehormatan guru dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi, pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik guru. Akan tetapi, DKGI belum memiliki pengalaman menjalankan sidang etik karena belum adanya laporan. Padahal seharusnya jalan pertama yang ditempuh adalah melapor ke DKGI jika ada dugaan pelanggaran kode etik oleh guru guna memperoleh keseimbangan.
“Apabila dinilai telah terjadi kekerasan dalam pemberian sanksi terhadap anak didik adalah bijak dan adil bila diserahkan lebih dulu ke dewan kehormatan guru untuk dinilai, apakah pemberian sanksi tersebut melanggar kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan? Meskipun telah dibuat MoU antara kepolisian dan PGRI, dalam praktik kepolisian tidak bisa begitu saja menolak atau menghentikan proses hukum terhadap guru dan diserahkan kepada dewan kehormatan guru karena belum ada dasar peraturan perundang-undangan yang mengikat,” sarannya.
Seperti diketahui, Dasrul dan Hanna Novianti yang berstatus sebagai guru menguji Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, serta Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen. Dalam permohonannya, Pemohon mengalami ketidakpastian hukum dan merasa tidak diperlakukan adil dengan berlakunya ketentuan tersebut sehingga menjadikan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak. Pemohon merasa kasus kriminalisasi yang menimpanya sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan.
Lebih lanjut, Pemohon menilai tindakan guru yang bermaksud ingin memberikan hukuman kepada siswanya dalam rangka menegakkan kedisiplinan dianggap orang tua dan masyarakat sebagai tindakan melanggar HAM. Orang tua siswa kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga seringkali guru tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap profesinya.
Hal tersebut dialami oleh Dasrul yang merupakan pengajar Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Makassar yang dipukul orang tua murid karena merasa anaknya mendapat kekerasan darinya. Dasrul menilai, penegakan kedisiplinan dengan cara hukuman menjadi tidak wajar dilakukan saat ini dengan alasan melanggar hak asasi manusia sehingga orang tua murid akan melaporkannya kepada pihak berwajib sebagai sebuah bentuk kekerasan. Pemohon menilai akibat adanya pasal-pasal a quo, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah. Seharusnya, guru dalam menjalankan tugas, sebagaimana diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, tidak dikriminalisasi dan dipidanakan.
(Lulu Anjarsari)