Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Mantan Caleg DPRD Provinsi Banten Muhammad Nizar. Putusan Nomor 9/PUU-XIV/2016 tersebut dibacakan Wakil Ketua MK Anwar Usman pada Senin (10/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 263 ayat (5) Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) telah menghalangi dan membatasi hak konstitusionalnya untuk melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 263 ayat (5) UU Pileg menyatakan, “Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.”
Mahkamah menilai ketentuan pembatasan tersebut sudah tepat. Penyelesaian tindak pidana Pemilu perlu dibatasi jangka waktunya karena putusan pengadilan terhadap perkara tindak pidana Pemilu dapat memengaruhi perolehan suara peserta Pemilu.
“Menurut Mahkamah, pembatasan oleh UU Pileg dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, termasuk dalam hal penyelesaian tindak pidana Pemilu yang merupakan bagian dari tahapan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Ketentuan Pasal 263 ayat (5) UU 8/2012 telah sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” terang Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul membacakan pertimbangan hukum.
Sebagai bagian dari rezim hukum pidana, lanjut Manahan, mekanisme peradilan perkara pidana Pemilu juga mengikuti sistem peradilan pidana umum dengan penambahan sejumlah karakter khusus yang terdapat dalam UU Pileg. Selain itu, sambungnya, pembatasan upaya hukum penyelesaian tindak pidana Pemilu hanya sampai tingkat banding sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (5) UU Pileg merupakan pengaturan khusus yang disesuaikan dengan tahapan penyelenggaraan Pemilu yang bermuara pada terpenuhinya kepastian agenda ketatanegaraan.
Lamanya proses penyelesaian, menurut Mahkamah, dapat mengganggu agenda ketatanegaraan yang potensial mengancam ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi hak konstitusional Pemohon sudah dipertimbangkan dengan disediakannya upaya hukum sampai tingkat banding. Dengan demikian, secara hukum pembatasan dimaksud dapat dibenarkan.
“Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (5) UU Pileg juga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 karena berlaku sama terhadap setiap warga negara sehingga telah memberikan jaminan kepada setiap warga negara persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.
(Lulu Anjarsari/lul)