Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (10/7). Agenda sidang perkara Nomor 18/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengarkan keterangan Pemerintah.
Diwakili Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Marwanto Harjowiryono, Pemerintah menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan hak tagih yang diatur Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara tidak berlaku pada pembayaran uang pensiun. Menurut Pemerintah, pemberlakuan pasal tersebut merugikan Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah kekeliruan.
Menurut Pemerintah, tidak tepat jika Pemohon menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara mengakibatkan Pemohon tidak bisa menerima kekurangan jaminan pensiun selama 18 bulan Taspen karena hak tagih Pemohon kedaluwarsa.
Ia menjelaskan kedaluwarsa atas tagihan dalam konsep keuangan negara dibedakan menjadi dua, yaitu utang uang dan utang kerja. Utang uang tidak mengenal kedaluwarsa, sedangkan utang kerja yang dituangkan dalam perikatan hubungan kerja mengenal kedaluwarsa dengan syarat-syarat tertentu.
“Utang kerja menjadi kadaluwarsa apabila hak tagih telah lahir, namun hak tagih tersebut diabaikan oleh yang bersangkutan sebagai pemegang hak tagih. Dalam hal hak tagih itu tidak pernah lahir, maka pada prinsipnya hak tagih tersebut tidak pernah mengenal kedaluwarsa,” papar Marwanto.
Pemerintah menjelaskan bahwa Universitas Indonesia (UI) sebagai instansi tempat Pemohon bekerja telah memproses terbitnya Surat Keputusan (SK) Pensiun sejak Pemohon memasuki batas usia pensiun. SK Pensiun telah terbit pada 14 Oktober 2010, namun Pemohon tidak menerima terbitnya SK dimaksud. Pemohon kemudian mengajukan perlawanan melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena yang bersangkutan ingin meraih gelar profesor sehingga masa pensiunnya menjadi lebih panjang.
Menurut Pemerintah, dengan diajukannya gugatan terhadap SK Pensiun oleh Pemohon, ditambah pihak UI tidak pernah menerima salinan putusan PTUN Jakarta, maka proses penerbitan Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP) menjadi terhenti. Sehingga lahirnya hak tagih juga terhenti pada saat itu. SKPP dimaksud merupakan syarat accessoir untuk pembayaran pensiun yang dilakukan oleh PT. Taspen.
“Bahwa terhentinya proses penerbitan SKPP sebagai syarat accessoir bukan kesalahan dari Pemohon maupun kesalahan administrasi Pemerintah. Tetapi merupakan upaya yang dilakukan Pemohon sebagai bagian dari proses untuk meraih gelar profesornya,” imbuh Marwanto.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat, permohonan pensiun Pemohon pada dasarnya belum kedaluwarsa dan dapat dibayarkan oleh PT. Taspen. Tertolaknya pembayaran pensiun yang bersangkutan karena Pemerintah belum mengatur mengenai pembagian klasifikasi penyebab kedaluwarsa pembayaran atas utang negara.
“Guna menghindari timbulnya permasalahan yang sama di kemudian hari, Pemerintah akan segera menyusun peraturan di bawah undang-undang sehingga pengaturan kedaluwarsa akan lebih jelas dan tegas serta tidak menimbulkan multitafsir dalam pemaknaannya,” jelas Marwanto.
Dengan demikian, Pemerintah menyatakan pokok permasalahan Pemohon bukan merupakan akibat dari pemberlakuan ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, melainkan sebagai akibat permasalahan teknis administrasi dalam penerapan ketentuan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara.
Sebelumnya, Sri Bintang Pamungkas mempersoalkan batasan kedaluwarsa terhadap hak tagih pembayaran pensiun bagi pegawai negeri. Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara menyebutkan, “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Selama 37 tahun, Bintang mengajar di Fakultas Teknik UI. Terhitung mulai Juli 2010, ia menjadi pensiunan ASN. Saat pensiun, Bintang belum memiliki SKPP. Pada 6 Oktober 2016 Pemohon menyerahkan SKPP ke PT. Taspen dan diperoleh perhitungan ada kekurangan 16 bulan dari 76 bulan pensiun yang seharusnya diterima. Menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, masa berlaku maksimum pembayaran pensiun yang bisa dibayar kepada Bintang adalah 60 bulan. Hal tersebut mengakibatkan Pemohon menderita kerugian materiil yang nilainya sebesar 16 bulan pensiun yang seharusnya dapat diterimanya.
Menurut Bintang, frasa “jatuh tempo” dalam ketentuan a quo adalah istilah yang biasa dipakai manakala batas waktu yang diwajibkan perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis. Sedangkan tidak ada perjanjian apapun yang dibuat antara ASN dengan Pemerintah, maka seharusnya frasa “jatuh tempo” Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
(Nano Tresna Arfana)