Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945, Kamis (29/11), untuk perkara No. 18/PUU-V/2007 yang dimohonkan oleh Eurico Guterres dengan Kuasa Hukumnya, M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., PhD. Persidangan ini mengagendakan Mendengarkan Keterangan Ahli dari Pemohon.
Pemohon meminta MK menguji Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM terhadap UUD 1945. Pasal 43 ayat (2) menyatakan: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam penjelasannya tertera: Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Dalam persidangan ini, Ahli dari Pemohon, Dr. Bernard L. Tanya, menyatakan rumusan Pasal 43 ayat (2) menyimpangi sistem trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu karena legislatif turut campur di wilayah yudikatif dengan mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Obyek âdugaanâ dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) adalah soal hukum pidana, maka seharusnya merujuk pada proses yang obyektif dan imparsial yang dijalankan oleh lembaga yudikatif. âPrinsip dasar kekuasaan legislatif adalah membentuk undang-undang, tapi ketika masuk wilayah yudikatif, parlemen harus berhenti dan biarkan lembaga yudikatif menjalankan perannya secara imparsial,â jelas Pengajar Filsafat dan Teori Hukum di Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur.
Lebih lanjut, Tanya memaparkan bahwa DPR antara lain menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sedangkan tindakan mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc, oleh Tanya diistilahkan sebagai fungsi âaksesorisâ yang bersifat temporer.
Terhadap penjelasan Ahli, Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. mengajukan pertanyaan, kapankah criminal justice system (CJS) dimulai dan berakhir? Terhadap pertanyaan ini, Ahli menjelaskan bahwa secara sempit, proses CJS dimulai pada saat proses penyelidikan dan berakhir pada penegakan sanksi pidana. Sedangkan secara luas, CJS berjalan sejak DPR merumuskan larangan dan perintah dalam rancangan peraturan perundang-undangan hingga penegakan sanksi pidananya.
âYang kami tolak adalah bukan pada proses keterlibatan DPR dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, tetapi pada proses âdugaanâ yang sebenarnya masuk dalam proses penyelidikan yang menjadi bagian dari proses penegakan hukum. Jadi, seharusnya DPR tidak boleh ikut campur,â tegas Tanya. (Wiwik Budi Wasito)