Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengatakan Haul Bung Karno menjadi momentum yang tepat bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan pembenahan diri. Hal tersebut disampaikannya dalam “Peringatan Haul Bung Karno ke-47 dan Peluncuran Buku Bung Karno, Islam dan Pancasila” di Gedung Nusantara IV MPR/DPR/DPD pada Rabu (21/6).
“Saya melihat kohesi sosial di negeri ini meluntur, saling tidak percaya, ada distrust sesama anak bangsa. Selama era reformasi, ikatan-ikatan sosial kita lepas. Maka begitu pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, maka hal ini dapat menjadi ikatan ke depan bagi bangsa Indonesia,” urainya.
Arief melanjutkan kejayaaan bangsa Indonesia misalnya di masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 maupun Kerajaan Majapahit di abad ke-14 hingga kejayaan bangsa Indonesia pada abad ke-21, semua dilandasi dasar negara Indonesia yaitu Pancasila.
“Di era reformasi, alhamdulillah bangsa Indonesia tidak terpecah belah. Semua ini karena dilandasi dasar negara kita yaitu Pancasila,” ucap Arief sebagai keynote speaker dalam acara tersebut.
Lebih lanjut, Arief membandingkan situasi kondisi bangsa Indonesia dengan negara lain berdasarkan dasar negara masing-masing. Kedua negara itu adalah Pakistan dan Turki. “Kebetulan dua negara itu menjadi anggota Asosiasi Mahkamah Konstitusi di Asia,” ujar Arief.
Dikatakan Arief, mayoritas penduduk Indonesia, Pakistan dan Turki beragama Islam. Namun dasar negara yang dipilih the founding fathers dari tiga negara ini berbeda. Seperti Pakistan, karena mayoritas rakyatnya beragama Islam, para pendiri bangsa Pakistan meletakkan Islam sebagai dasar negara. Maka Pakistan menjadi negara Islam. “Sedangkan Turki, meskipun mayoritas rakyatnya beragama Islam, para pendiri bangsa di Turki memisahkan aspek agama dengan negara. Sehingga Turki menjadi negara yang sekuler,” imbuh Arief.
Berbeda dengan Indonesia, sambung Arief, meskipun masyarakat Indonesia heterogen dengan suku bangsa dan agama yang beragam, namun para pendiri bangsa Indonesia memilih Pancasila sebagai dasar negara. “Kita tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, tidak memilih sekuler sebagai dasar negara. Tapi menjadikan negara Indonesia dengan dasar negara Pancasila. Seperti dikatakan Soekarno, Indonesia karena heterogen, seperti taman bunga yang sangat indah,” tandas Arief.
(Nano Tresna Arfana/lul)