Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan yang mempersyaratkan batas usia minimum 30 (tiga puluh) tahun untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 huruf d UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 28C Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28D Ayat (3), serta Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945.
âBahwa oleh karena Pasal 58 huruf d UU Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 28C Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28D Ayat (3), serta Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak,â ucap Ketua MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam sidang putusan perkara No. 15/PUU-V/2007 tentang uji UU Pemda, (Selasa, 27/11), di ruang sidang pleno MK.
Dalam alasan Permohonannya, Pemohon, Toar Semuel Tangkau (27), yang juga Ketua DPD Partai Golongan Karya kabupaten Minahasa Tenggara menganggap Pasal 58 huruf d UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mendiskriminasi kaum muda yang belum berusia 30 tahun namun memiliki kesiapan dan kematangan untuk menjadi pemimpin. Akibat adanya ketentuan tersebut, niat Pemohon untuk menjadi calon Bupati Minahasa Tenggara belum dapat terlaksana.
Terhadap dalil Pemohon di atas, pendapat Mahkamah, salah satunya, menyatakan (terakhir vide Putusan Nomor 19/ PUU-V/2007) bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi.
Dengan demikian yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. (Wiwik Budi Wasito)