Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dengan perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (13/6). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dua ahli yang dihadirkan Pemohon.
Wakil Ketua Bidang Eksternal (Plt.) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Roichatul Aswidah menegaskan hukum yang membatasi hak asasi manusia tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. Menurutnya, aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan bisa diakses siapa pun, tidak bersifat ambigu, serta dibuat secara hati-hati dan teliti.
“Bahwa pasal makar harus didefinisikan secara limitatif untuk mencegah tidak jelasnya penerapan pasal-pasal tersebut (pasal-pasal yang diujikan Pemohon, red). Penerapan pasal-pasal makar secara luas dapat mengakibatkan sifat yang tidak jelas serta ambigu yang pada akhirnya dapat menjadi ancaman bagi hak asasi manusia,” urainya.
Roichatul melanjutkan pembatasan atas HAM diperbolehkan, termasuk yang paling relevan, dalam hal ini atas dasar klausul pembatas keamanan nasional. Dengan demikian, atas dasar eksistensi bangsa, integritas wilayah, atau kemerdekaan politik terhadap adanya ancaman kekerasan, dapat diberlakukan pembatasan kebebasan berekspresi.
“Walaupun pembatasan atas hak asasi manusia diperbolehkan, namun pembatasan tersebut harus tetap melindungi hak asasi manusia dari intervensi negara maupun pihak lain karena pentingnya hak ini bagi adanya dan berfungsinya demokrasi,” imbuh Roichatul.
Sementara itu, Peneliti Fakultas Hukum Universitas Indonesia Anugerah Rizki Akbar menjelaskan bahwa makar disebut juga sebagai aanslag yang dalam bahasa Belanda berarti ‘serangan’. Dengan demikian, menurutnya, harus ada serangan dulu dengan tujuan menggulingkan pemerintahan, dengan tujuan memisahkan dari negara kesatuan untuk mendefinisikan suatu perbuatan sebagai makar.
“Poin dari makar, harus ada serangan terlebih dahulu. Sementara jika belum ada serangan, maka hal itu belum disebut makar,” kata Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI tersebut.
Pemohon adalah Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Syahrial Wiriawan Martanto bersama rekan-rekannya. Pemohon menilai tidak ada kejelasan dari definisi kata ‘makar’ dalam KUHP yang merupakan terjemahan dari kata ‘aanslag’. Menurut Pemohon, makar bukan bahasa Indonesia yang dipahami, melainkan dari bahasa Arab. Sedangkan aanslag artinya serangan. Pemohon menilai tidak jelasnya penggunaan kata ‘aanslag’ yang diterjemahkan sebagai makar telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag.
(Nano Tresna Arfana/lul)