Aturan perlindungan terhadap anak dalam satuan pendidikan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keberadaan aturan itu justru memberikan perlindungan hukum bagi para peserta didik. Hal tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy O.S. Hiariej dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Sidang keenam perkara Nomor 6/PUU-XIV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (12/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya selaku Ahli Pemerintah, Eddy menekankan agar jangan sampai permohonan Pemohon memberikan imunitas hukum kepada para pendidik. Ia menyebut argumentasi Pemohon tidak tepat, terutama terkait dengan pengaturan mengenai kekerasan dalam pasal a quo yang ditujukan kepada tenaga pendidik. Doktrin tersebut, lanjutnya, seolah-olah tenaga pendidik memiliki kekebalan dalam menerapkan hukuman yang bersifat mendidik kepada para siswa. “Imunitas yang dimaksudkan oleh para Pemohon justru memberikan kesan diskriminatif yang pada hakikatnya bertentangan dengan perlindungan hukum itu sendiri,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Masih Budaya
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum UGM Sri Wiyanti Eddyono yang juga menjadi Ahli Pemerintah menilai dalam kasus kekerasan fisik yang dilakukan guru terhadap anak didik, yang menjadi korban tetap anak didik. Namun pandangan dan budaya masyarakat menganggap posisi anak-anak masih di bawah orang dewasa. “Pandangan ini terkait dengan adanya relasi yang sangat timpang antara orang dewasa dan anak-anak,” jelasnya.
Anak-anak, imbuhnya, dianggap sebagai makhluk yang tidak tahu apa-apa dan harus menuruti kemauan orang dewasa, bahkan anak-anak dianggap sebagai milik dari orang dewasa. Pandangan yang demikian sangat kuat, sehingga orang dewasa memperlakukan anak-anak tidak dengan hormat tanpa memedulikan perasaan dan keinginan anak-anak, mempermalukan anak, dan bahkan melakukan eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi, atau perilaku-perilaku buruk lainnya.
“Dalam budaya masih merendahkan dan bahkan menganggap anak adalah milik orang dewasa, maka tidak dapat dipungkiri masih ada yang menganggap kekerasan terhadap anak adalah bagian dari upaya mendidik atau mendisiplinkan anak, sehingga ditoleransi. Kekerasan fisik yang terwujud dalam bentuk-bentuk hukuman fisik, dalam wacana hukum disebut sebagai corporal punishment,” terangnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar Pemerintah secara terus-menerus melakukan sosialisasi untuk mengurangi kekerasan terhadap anak didik.
Seperti diketahui, Dasrul dan Hanna Novianti yang berstatus sebagai guru menguji Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, serta Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen. Dalam permohonannya, Pemohon mengalami ketidakpastian hukum dan merasa tidak diperlakukan adil dengan berlakunya ketentuan tersebut sehingga menjadikan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak. Pemohon merasa kasus kriminalisasi yang menimpanya sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan.
Lebih lanjut, Pemohon menilai tindakan guru yang bermaksud ingin memberikan hukuman kepada siswanya dalam rangka menegakkan kedisiplinan dianggap orang tua dan masyarakat sebagai tindakan melanggar HAM. Orang tua siswa kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga seringkali guru tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap profesinya.
Hal tersebut dialami oleh Dasrul yang merupakan pengajar Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Makassar yang dipukul orang tua murid karena merasa anaknya mendapat kekerasan darinya. Dasrul menilai, penegakan kedisiplinan dengan cara hukuman menjadi tidak wajar dilakukan saat ini dengan alasan melanggar hak asasi manusia sehingga orang tua murid akan melaporkannya kepada pihak berwajib sebagai sebuah bentuk kekerasan. Pemohon menilai akibat adanya pasal-pasal a quo, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah. Seharusnya, guru dalam menjalankan tugas, sebagaimana diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, tidak dikriminalisasi dan dipidanakan.
(Lulu Anjarsari/lul)