Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS), Senin (12/6). Sidang dengan agenda perbaikan permohonan tersebut dihadiri oleh Heru Widodo selaku kuasa hukum.
Pemohon menyampaikan tiga poin perbaikannya. Pertama, Pemohon memperkuat kedudukan hukumnya. “Jadi, sudah coba kami elaborasi bahwa ini bukan case, tapi ini merupakan betul-betul menimbulkan kerugian konstitusional manakala pasal yang dimohonkan tetap berlaku,” urai Heru kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kedua, Pemohon menegaskan permohonannya tidak ne bis in idem (terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, red) dengan perkara sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah. “Bahwa permohonan ini berbeda, bukan mengenai Penjelasan Pasal 70, tetapi batang tubuh Pasal 70. Kemudian juga beberapa pasal lain. Sehingga, menurut hemat Pemohon, permohonan ini tidak nebis in idem,” tambah Heru.
Ketiga, Pemohon mempertajam pokok-pokok permohonannya. “Sudah kami perbaiki dalam pokok permohonan di angka 7, angka 4, angka 7, angka 10, dan angka 11 serta angka 13, Yang Mulia. Demikian pula berkaitan dengan ketika itu ada kesalahan penulisan sudah kami perbaiki,” imbuhnya.
Permohonan teregistrasi dengan Nomor 26/PUU-XV/2017 tersebut diajukan oleh Zainal Abidinsyah Siregar. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 70, Pasal 71 dan Penjelasan Umum UU AAPS.
Pasal 70 UU AAPSmenyebutkan, “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan diajtuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; Setelah putusan diambil ditemukan yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”.
Sedangkan Pasal 71UU AAPSberbunyi,“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri".
Pemohon menilai ketentuan Pasal 70 UU AAPSmengandung tiga frasa yang menimbulkan persoalan konstitusional. Pertama, frasa "diduga". Kedua,frasa "a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan, diakui palsu atau dinyatakan palsu". Ketiga,frasa "c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa".
Pemohon menilai bahwa ketiga frasa tersebut bersifat sumir dan tidak jelas. “Frasa ‘dugaan’ yang berarti sesuatu yang masih perkiraan, sangkaan, kecurigaan tidak bisa serta merta digunakan untuk membatalkan putusan abitrase,” kata kuasa hukum Pemohon, Adi Kurniawan didampingi tim kuasa hukum Pemohon lainnya.
Sedangkan alasan pembatalan putusan arbitrase karena adanya surat atau dokumen yang "diakui palsu atau dinyatakan palsu" tanpa melalui proses pembuktian pidana terlebih dahulu dinilai merusak sendi-sendi peradilan dan hak-hak konstitusional seseorang yang dilindungi hukum. Sementara itu, alasan pembatalan putusan arbitrase karena adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam sengketa dinilai Pemohon sangat sumir dan terlalu sederhana karena perbuatan "tipu muslihat" adalah suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(Nano Tresna Arfana/lul)