Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara No. 29/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU Perfilman) terhadap UUD 1945, (Senin, 26/11), dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Permohonan ini diajukan oleh lima yang masing-masing bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, baik sebagai perorangan maupun kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama. Kelima orang itu antara lain, Annisa Nurul Shanty K. (Aktris), Muhammad Rivai Riza (Produser film), Nur Kurniati Aisyah Dewi (Produser film), Lalu Rois Amriradhiani (Penyelenggara Festival Film), dan Tino Saroengallo (Pengajar dan Sutradara Film).
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 4 Bab V, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40, dan Pasal 41 ayat (1) huruf b UU Perfilman sepanjang mengenai ketentuan tentang Penyensoran melanggar Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 serta menyatakan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam alasan permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa penyensoran yang dilakukan Lembaga Sensor Film (LSF) dengan cara menolak secara utuh film karena alasan tematis dan/atau meniadakan dengan cara memotong bagian-bagian film berupa judul, tema, dialog, gambar dan/atau suara tertentu, telah merugikan hak konstitusional para Pemohon selaku pelaku perfilman Indonesia. Selain itu, para Pemohon juga berpendapat bahwa selama ini tidak ada parameter atau ukuran yang jelas tentang penyensoran.
Berdasarkan pengalaman para Pemohon, pedoman dan kriteria penyensoran yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja Lembaga Sensor Film dan Tata Laksana Penyensoran, tidak pernah dipergunakan oleh LSF.
Terhadap penjelasan di atas, Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. menasihati para Pemohon untuk didampingi pengacara dalam persidangan-persidangan selanjutnya. âMengingat, persidangan ini tidak hanya dilakukan sekali dan nantinya akan terjadi perdebatan-perdebatan norma hukum di dalamnya,â jelas Mukthie.
Selanjutnya, Prof. Mukthie juga menanyakan apakah melalui permohonan ini, apabila ternyata permohonan dikabulkan, ke depan tidak perlu lagi ada sensor film atas nama kreatifitas dan kebebasan memperoleh informasi. âSebenarnya, yang bermasalah itu aturannya ataukah cara kerja orang-orang di LSF yang dinilai kurang memahami perkembangan perfilman?â tanya Mukthie.
Senada dengan Prof. Mukthie, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, S.H. menanyakan apakah tidak ada kekhawatiran bahwa dengan dihapusnya penyensoran, maka akan semakin membuka peluang bagi beredarnya pornografi dan film-film lain berbau kekerasan. âSaya percaya dengan kredibilitas pemohon yang memiliki tanggung jawab terhadap kesenian dan kreatifitas, tetapi masih banyak juga pegiat film lainnya yang hanya berorientasi bisnis tanpa mengindahkan norma-norma,â urai Roestandi.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, Pemohon, Riri Riza mengatakan bahwa dirinya setuju dengan adanya aspek perlindungan bagi masyarakat. Riri mengaku telah mengajukan usul tentang proses sensor sebagaimana berlaku di negara-negara lainnya seperti Afrika Selatan dan Korea Selatan, namun belum ada apresiasi positif dari pihak-pihak terkait. âUntuk itu, masih perlu ada pengkajian ulang terhadap undang-undang ini,â jawab Riri.
Tambah Pemohon, Lalu Rois Amriradhiani, selain karena UU Perfilman ini disahkan sebelum perubahan UUD 1945, pada praktiknya kriteria penyensoran lebih didasarkan pada âseleraâ penguasa (baca: pemerintah). âHal ini membuat genre-genre film lainnya kurang bisa berkembang di Indonesia,â jelas Lalu.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim, Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. memberi waktu para Pemohon 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. (Prana Patrayoga Adiputra/Wiwik Budi Wasito)