Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Rabu (7/6). Agenda sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut adalah perbaikan permohonan.
Adapun Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan:
1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Kuasa Hukum Pemohon Lia Anggiasih menjelaskan perbaikan yang dilakukan, antara lain memperbaiki legal standing dan lebih mengelaborasi kerugian konstitusional yang dialami Pemohon akibat berlakunya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Pemohon juga menambahkan alat bukti, yakni bukti P-10 terkait ketidakbebasan anak dalam menentukan pilihan dan pelanggaran terhadap anak untuk memberikan persetujuan.
“Lalu perbaikan selanjutnya ada dalam petitum. Awalnya kami menuliskan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Itu telah dihapus dan diperbaiki menjadi hanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Kuasa Pemohon lainnya Ajeng Gandini.
Setelah menyimak paparan Pemohon, Wahiduddin mengatakan akan membawa perkara tersebut pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Selanjutnya, saran-saran perbaikan apakah saran-saran itu dilakukan atau tidak, akan diputuskan oleh Pleno Hakim,” jelasnya.
Permohonan perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 tersebut diajukan Endang Wasrinah, Maryanti, serta Rasminah. Ketiganya adalah warga negara Indonesia yang menikah sebelum berumur 16 tahun. Bagi para Pemohon, pasal yang diujikan telah menghambat, bahkan mengancam pemenuhan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai anak perempuan. Misal, seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana telah dijamin pemenuhan dan perlindungannya oleh UUD 1945. Pemohon juga menilai ketentuan tersebut diskriminatif karena membedakan batas minimum usia menikah bagi perempuan dan laki-laki.
(ARS/lul)