Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 14 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 (UU MA), Rabu (7/6). Sidang yang teregistrasi dengan Nomor 23/PUU-XI/2017 tersebut dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Dalam keterangannya, Pemohon diwakili Baginda Syafri menyampaikan telah melakukan perbaikan permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang sebelumnya. “Kami sudah memperbaiki tentang Kewenangan Mahkamah dan memperjelas kedudukan hukum atau legal standing Pemohon sebagai warga negara Indonesia,” Papar Syafri di hadapan Majelis Hakim yang beranggotakan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto.
Selanjutnya, Majelis Hakim mengesahkan alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon dan menyatakan perkara tersebut akan dibawa ke Rapat Permusyawaran Hakim (RPH). “Kami akan membawa perkara ini ke RPH terlebih dahulu. Nanti akan dikabarkan, bila perkara ini akan diteruskan ke sidang pleno atau dianggap cukup,” tegas Maria.
Pada sidang sebelumnya, Sulindro dan sejumlah rekannya mengajukan uji materiil Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA. Pemohon merasa dirugikan dengan pemberlakuan kedua norma yang membatasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tersebut.
Pemohon merupakan terdakwa kasus pemalsuan surat yang telah mengajukan PK, namun ditolak oleh Mahkamah Agung. Terhadap putusan tersebut, Pemohon hendak mengajukan PK kembali, namun ditolak dengan berdasar pada Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
“Para Pemohon hendak mencari kebenaran dan keadilan. Pemohon dipidana karena menggunakan akta/surat palsu. Sementara pembuat akta/surat palsu tersebut sampai sekarang tidak diketahui dan dengan sendirinya tidak dihukum,” ujar Syafri.
Untuk itulah, Pemohon meminta pembatalan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Pemohon menilai aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
(Panji/lul)