Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara tidak dapat diterima. Menurut Mahkamah, permohonan tidak memenuhi sistematika permohonan Pengujian Undang-Undang sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Wakil Ketua MK Anwar Usman mengucapkan amar Putusan Nomor 106/PUU-XIV/2016, Selasa (30/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah berpendapat sistematika permohonan yang diajukan oleh mantan Prajurit TNI AD Purwadi tersebut tidak memenuhi sistematika permohonan pengujian undang-undang. Adapun ketentuan sistematika permohonan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan MK Nomor 6/PMK/2005. Berdasarkan ketentuan tersebut, permohonan Pemohon seharusnya terdiri dari identitas Pemohon, uraian mengenai dasar permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, dan alasan permohonan pengujian yang diuraikan secara jelas dan rinci.
Walaupun telah diberikan kesempatan untuk memperbaiki permohonan, Mahkamah berpendapat format perbaikan permohonan masih tidak sesuai dengan format yang seharusnya. Pemohon, menurut Mahkamah, justru menggunakan format putusan Pengujian Undang-Undang.
Dalam permohonannya, Pemohon yang mengakhiri ikatan dinas militer wajib TNI AD terhitung mulai 30 September 1981 tersebut merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara yang menyatakan, “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Pemohon menjelaskan dalam surat pengakhiran ikatan dinas wajib militer TNI AD yang diterimanya, terdapat perintah bahwa Pemohon berhak atas uang pesangon sesuai PP Nomor 176 Tahun 1961 tentang Uang Saku, Uang Kompensasi, Uang Pesangon dan Tunjangan-Tunjangan Bagi Militer Wajib dan sokongan sesuai PP Nomor 25 Tahun 1965 tentang Pemberian Tunjangan yang Bersifat Pensiun kepada Bekas Militer Wajib. Namun, Pemohon belum pernah menerima pesangon/sokongan tersebut.
Menurut Pemohon, hal tersebut akibat berlakunya Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, sehingga hak Pemohon dilanggar secara konstitusional. Pemohon merasa dirugikan karena tidak lagi memiliki hak tagih utang pembayaran pesangon atas beban negara karena sudah kedaluwarsa setelah 5 tahun sejak utang tersebut jatuh tempo.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon sama sekali tidak memberikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Pemohon tidak menguraikan mengenai inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialaminya.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, permohonan Pemohon a quo kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang MK. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon,” ucap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pertimbangan hukum.
(Nano Tresna Arfana/lul)