Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjadi narasumber dalam kuliah umum yang diikuti sejumlah mahasiswa STHI Jentera Jakarta. Kuliah umum yang digelar di Ruang Delegasi Gedung MK, Rabu (24/5) tersebut berlangsung akrab dan penuh antusias.
Dalam pemaparannya, Palguna menjabarkan bahwa dalam Konstitusi terdapat ketidaksempurnaan. Artinya, sebuah Konstitusi tertulis tidak mungkin menjangkau masa depan sehingga hanya melegitimasi zamannya. Oleh karena itu, agar Konstitusi tetap hidup, hal yang perlu dilakukan salah satunya adalah melalui penafsiran.
“Semua lembaga negara pasti melakukan penafsiran dan hal tersebut setara kekuatannya dengan undang-undang,” terang Palguna dihadapan mahasiswa peserta mata kuliah Penalaran Hukum STHI Jentera.
Hakikat dari penafsiran Konstitusi yang dilakukan Hakim, lanjutnya, tidak sertamerta. Penafsiran Konstitusi didasarkan pada putusan-putusan yang dibuat dalam setiap kewenangan yang diberikan pada Hakim tersebut. Untuk itu, dibutuhkan argumen kuat yang melandasinya.
Dalam uraiannya, Palguna pun menyampaikan ada dua hal yang dibutuhkan seorang Hakim ketika memutuskan suatu penafsiran dari jawaban perkara, yaitu judicial independence dan judicial accountability. Dengan adanya dua hal tersebut, maka akan didapatkan putusan yang memuat alasan yang jelas.
“Dengan demikian, tiap putusan Mahkamah adalah interpretasi Hakim terhadap norma Konstitusi, tetapi Hakim tidak mengubah Konstitusi karena itu bukan wewenangnya. Jadi, hanya pada tafsirnya saja. Menyempurnakan bukan berarti mengubah,” tandas Hakim Konstitusi Palguna yang didamping salah satu dosen Jentera Bivitri Susanti.
Usai mendapatkan pemaparan materi, mahasiswa STHI Jentera sangat antusias mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Dalam sesi pertanyaan, salah satu mahasiswa, Aldi, menanyakan batasan kewenangan Mahkamah dalam melakukan pengujian undang-undang sebagai salah satu wujud dari bentuk penafsiran Konstitusi. “Apakah MK dapat menguji Perpu terhadap UUD?” tanyanya.
Menjawab hal tersebut, Palguna menjelaskan MK memiliki kewenanngan untuk menguji Perpu. “Berdasarkan keputusannya, MK berwenang untuk menguji Perpu. Perpu boleh diujikan karena meski nanti ada penolakan oleh DPR tetapi secara teori perundang-undangan bahwa Perpu itu normanya adalah norma undang-undang. Jadi, MK berwenang,” jawabnya.
Pada paparan mengenai amanah dan kewenangannya, Palguna menambahkan bahwa Hakim Konstitusi disumpah untuk mempertahankan Konstitusi. Apabila ada undang-undang yang dianggap grey area, seorang Hakim harus memutus perkara Pengujian Undang-Undang tersebut.
Pertanyaan lain diajukan oleh mahasiswi bernama Yohana terkait legal standing dalam mengajukan perkara Pengujian Undang-Undang. “Bagaimana jika seseorang melakukan pengujian undang-undang tetapi hak konstitusionalnya tidak ada dalam UUD?” tanya Yohana.
Palguna pun menjelaskan untuk itulah perlu adanya penafsiran. Pada hakikatnya, satu undang-undang tidak hanya terkandung satu hal atau aturan, tetapi ada banyak turunannya sehingga Mahkamah harus melakukan elaborasi. Namun demikian, titik tolaknya tetap dari UUD 1945.
Palguna juga menekankan terkait dua hal yang harus dicermati ketika seseorang terpilih sebagai Hakim Konstitusi, yaitu bagaimana cara ia dipilih dan bagaimana ia memutuskan perkara. “Hal ini penting, ketika seseorang dipilih dengan sistem yang terbuka, maka hal itu akan sangat baik bagi seorang Hakim. Tidak ada beban psikologis bagi yang mengikuti seleksi tersebut karena semua berlangsung terbuka dan khalayak dapat memberikan penilaian. Hal kedua adalah bagaimana cara memutuskan perkara sehingga masyarakat percaya pada Hakim atas putusannya tersebut,” terang Palguna.
Di akhir perkuliahan, Palguna menyampaikan rasa senangnya dapat memberikan perkuliahan bagi mahasiswa serta dengan tangan terbuka apabila ada waktu membuka kesempatan berdiskusi pada perkuliahan-perkuliahan berikutnya sehingga mahasiswa mendapatkan pengalaman dan pemaparan mendalam secara langsung dari praktisi Hukum Konstitusi.
(Sri Pujianti/lul)