Sebanyak 13 anggota Lembaga Bantuan Hukum Bethel Indonesia berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/5). Kunjungan tersebut diterima Peneliti MK Pan Mohamad Faiz di Ruang Delegasi Lantai 4.
Mengawali paparannya, Faiz menjelaskan tentang sejarah perubahan Konstitusi di Indonesia sebanyak empat kali dalam kurun waktu 1998 hingga 2002. Perubahan yang paling fundamental, menurutnya, adalah penghapusan lembaga tertinggi negara, yakni MPR, menjadi lembaga tinggi negara yang kedudukannya sama dengan lembaga tinggi negara lainnya.
“Selain itu, amandemen membatasi kekuasaan presiden agar tak bersifat sentralistik seperti jaman orde baru. Ada perubahan pasal yang tafsirnya tak jelas. Kala itu, pasal tersebut membuat pemegang kekuasaan bebas menafsirkan” jelasnya.
Meski terjadi amandemen, Faiz menyebut Pembukaan UUD 1945 tidak diubah sama sekali. Sebab, Pembukaan UUD 1945 merupakan cita-cita dan visi misi bernegara Indonesia. Selain itu, Pasal 37 UUD 1945 juga tak diubah karena menyangkut bentuk negara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Amandemen UUD 1945, imbuh Faiz, membawa Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis. Pasca-amandemen, kedaulatan berada di tangan rakyat namun tetap dengan koridor hukum. Sebab, jika hanya semata demokrasi, akan membawa negara menjadi “kerumunan tanpa aturan”. Hukum, dengan kata lain menjadi panduan dalam demokrasi di Indonesia.
Dia menjelaskan amandemen juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengadilan baru, yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, muncul juga Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan lembaga negara yang dihilangkan adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Terkait MK, Faiz menjelaskan lembaga yang berdiri pada 2003 ini memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar UUD 1945. Kewenangannya, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam hal pembubaran partai politik, Faiz menyebut pembubaran parpol memiliki landasan filosofis tersendiri, yakni guna mencegah pembubaran parpol bersifat politis dan jadi alat politik. “Dulu di era Soekarno, pemerintah melalui Presiden dapat langsung membubarkan parpol. Sekarang semuanya mesti melewati pengadilan di MK,” jelasnya.
Demikian juga dengan penanganan sengketa kewenangan lembaga negara. Pada dasarnya kewenangan tersebut ada agar proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan adil dan tak memihak. Faiz menyebut pada zaman orde baru, penyelesaian sengketa lembaga negara dilakukan melalui proses politik. “Saling ‘kuat-kuatan’ secara politik,” ujarnya.
Faiz menyebut MK memiliki sembilan hakim yang diusulkan oleh Presiden, DPR, dan MA. Perinciannya, masing-masing lembaga mengusulkan tiga orang hakim. Representasi hakim dari tiga lembaga tersebut bertujuan untuk kebutuhan MK dalam memutus perkara. Sebab, perkara yang masuk ke MK dikategorikan sebagai kasus kasus yang penting.
“Dengan background hakim dari tiga lembaga, diharapkan putusan MK berkualitas dan memenuhi rasa keadilan,” tegasnya.
(ARS/lul)