Jalan pengadilan seharusnya merupakan solusi terakhir jika para orang tua mendapati anaknya sebagai peserta didik menjadi korban kekerasan guru. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Dewan Kehormatan Guru Pusat PGRI Sudharto dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Sidang kelima perkara dengan Nomor 6/PUU-XIV/2017 itu digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya selaku Ahli Pemohon, Sudharto mengungkapkan para orang tua bisa menempuh jalur Dewan Kehormatan Guru jika ada pelanggaran kode etik yang terjadi. Menurutnya, guru hanya melaksanakan amanah dari orang tua untuk membantu memanusiakan anak-anak. Akan tetapi, lanjutnya, diberlakukannya UU Perlindungan Anak menyebabkan bermunculannya kasus kriminalisasi guru. Padahal, menurutnya, tindakan guru tersebut dilakukan untuk membuat anak bermoral. Sudharto menyayangkan sikap masyarakat yang justru menilai bahwa anak telah mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru.
“Harusnya ada mekanisme kerja penindakan pelanggaran kode etik oleh Dewan Kehormatan Guru. Penyelesaian di pengadilan dilanjutkan sesudah dewan kehormatan. melalui pemeriksaannya, menemukan unsur-unsur tindakan guru yang mengarah kepada tindakan kekerasan,” terang Sudharto di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara itu, Ketua Provinsi PGRI Sulawesi Selatan Wasir Thalib menerangkan dilema yang dialami guru akibat berlakunya ketentuan yang diujikan para Pemohon. Baginya, aturan tersebut menyebabkan dampak kurang tegasnya pendidikan disiplin kepada anak didik oleh guru. Hal itu, menurutnya, akan berpengaruh hilangnya wibawa guru di hadapan anak didik serta perubahan sikap guru yang hanya berfokus untuk mengajar. Padahal guru mempunyai dua kewajiban, yakni mengajar dan mendidik. Ia berharap UU Perlindungan Anak tidak sampai menyandera guru dalam mendidik anaknya dengan tetap memberikan otonomi pendidikan.
Dalam permohonannya, Dasrul dan Hanna Novianti yang berstatus sebagai guru menguji Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak serta Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen. Dalam permohonannya, Pemohon merasa ketentuan yang diujikan membuat posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak. Pemohon merasa kasus kriminalisasi yang menimpanya sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan.
Lebih lanjut, Pemohon memaparkan telah mengalami kekerasan ketika mendidik siswanya. Padahal, menurut Pemohon, guru bermaksud ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan. Namun, orang tua dan masyarakat mengategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan melanggar UU Guru dan Dosen. Orang tua siswa melaporkan tindakan guru tersebut kepada Polisi atau kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga seringkali guru tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap profesinya.
(Lulu Anjarsari/lul)