Sebanyak 23 mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Balikpapan berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/5). Kunjungan tersebut diterima langsung peneliti MK Bisariyadi di Ruang Delegasi Lantai 4.
Di awal penjelasan, Bisar menjelaskan MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban merujuk pada UUD 1945. Kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dari seluruh kewenangan dan kewajibannya, Bisar menyebut perkara Pengujian Undang-Undang adalah yang paling sering ditangani MK. Tercatat lebih dari 1000 perkara terkait uji materiil undang-undang masuk ke MK sejak berdiri pada 2003. Adapun jumlah perkara yang dikabulkan, kurang lebih sebanyak 300 perkara. “Dalam pengujian undang-undang, yang sering terjadi adalah hanya beberapa pasal saja yang diujikan, bukan semua isi undang-undang,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Bisar juga membuka sesi tanya-jawab untuk para mahasiswa. Seorang mahasiswa bernama Rahmat bertanya apakah suatu Rancangan Undang Undang (RUU) dapat diubah oleh MK. Menjawab hal tersebut, Bisar menyebut fase pembahasan RUU dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Dalam ketatanegaraan, MK tidak bisa masuk ke ranah tersebut. “Jika sudah menjadi undang-undang, lain ceritanya. Kalau undang-undang tersebut mau diuji materikan, MK dapat memprosesnya,” jelasnya.
Bisar pun menceritakan kondisi berbeda di Perancis. Menurutnya, di negara tersebut terdapat kewenangan judicial preview yang dimiliki Dewan Konstitusi. Lembaga itu diisi oleh politisi beserta akademisi bidang hukum.
Tugas Dewan Konstitusi, lanjutnya, adalah me-review isi RUU apakah bertentangan dengan Konstitusi Perancis atau tidak. “Misal ada yang melanggar, maka RUU tersebut tak bisa disahkan menjadi undang-undang,” ujarnya.
Penanya kedua, Ardi, bertanya tentang sepak terjang MK dalam pembubaran partai politik. Apakah hal tersebut pernah dilakukan oleh MK atau tidak. Bisar menyebut pembubaran partai politik oleh MK belum pernah dilakukan.
“Dalam aturan di Indonesia, Pemohon pembubaran partai politik adalah Pemerintah. Landasan filosofisnya, agar tak semua pihak bisa bebas tanpa batas mengajukan pembubaran partai politik,” ujarnya.
Bisar menyebut pembubaran partai politik di Indonesia diatur secara ketat, yakni partai politik yang boleh dibubarkan adalah yang bertentangan dengan ideologi negara. Dasar aturan tersebut, lanjutnya, adalah untuk melindungi semangat demokrasi di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah melindungi kebebasan berserikat dan berkumpul bagi warganya. Kondisi Indonesia, kata dia, agak berbeda jika dikomparasikan dengan negara lain.
"Misal, di Turki kurang lebih sudah ada 28 partai politik yang dibubarkan. Sebab disana, pembubaran partai politik menjadi alat Pemerintah untuk menekan oposisi. Lalu di Republik Korea terdapat pembubaran Partai Persatuan Progresif karena berideologi sosialis dan terafiliasi pada Korea Utara," paparnya.
(ARS/lul)