Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara No. 21-22/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) terhadap UUD 1945, Selasa (20/11), di ruang sidang pleno MK dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Perkara No. 21/PUU-V/2007 diajukan oleh sepuluh lembaga, antara lain, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YBDS), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Suara Hak Asasi Manusia Indonesia (SHMI), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). Sedangkan permohonan perkara No. 22/PUU-V/2007 diajukan oleh Daipin dkk. dengan Kuasa Hukumnya Patra M. Zen, S.H., LLM. dkk. dari YLBHI.
Dalam petitumnya, para Pemohon perkara No. 21/PUU-V/2007 meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan materi Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28C UUD 1945. Sedangkan Pemohon Perkara No. 22/PUU-V/2007 meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU PM bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam alasan permohonannya, para Pemohon menyatakan UU PM menyediakan beragam âkemewahanâ demi mengundang investasi mulai dari kemudahan pelbagai bentuk pajak, pemberian ijin Hak Guna Usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan dan di manapun, hingga bebas dari masalah nasionalisasi. Di sisi lain, biaya eksternalitas penanaman modal selama ini seperti ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan yang selama ini terjadi, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan UU PM oleh Pemerintah dan DPR RI.
UU PM ini, lanjut Pemohon, mengutamakan investasi sebagai penopang pembangunan ekonomi. Hal ini, urai Pemohon, justru mengandung banyak kelemahan karena mengabaikan keadilan distribusi pendapatan sehingga memperlebar jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Di lain pihak, masyarakat Indonesia mayoritas masih miskin dan tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik lainnya. Hal-hal inilah, yang menurut para Pemohon melanggar konstitusi dan mengkhianati cita-cita pembangunan ekonomi nasional yang bersandar pada nilai-nilai kerakyatan atau ekonomi Pancasila.
Dalam persidangan ini, telah didengar keterangan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Ahli dari Pemohon antara lain Jayadi Damanik, Revrisond Baswir, Zohra Andi Baso, dan Salamudin Daeng. Sedangkan Ahli dari Pemerintah antara lain Asril Noer, Bungaran Saragih, Faisal Basri, Ismail Suny, Felix O. Soebagyo, dan Kurnia Toha.
Secara umum, ahli dari Pemohon memandang bahwa UU PM lahir dari sebuah terapi yang berangkat dari diagnosa yang salah. âSaya masih percaya bila Pasal 33 ayat (2) diinterpretasi dan diterapkan secara benar maka tidak akan ada persoalan dalam implementasi perundang-undangannya,â ucap Baswir.
Sedangkan ahli dari pemerintah berpendapat bahwa persoalan sesungguhnya bukanlah pada substansi UU PM namun lebih pada kinerja Pemerintah yang kurang optimal untuk berupaya mensejahterakan rakyatnya. âMasalahnya bukan pada undang-undang yang dinilai diskriminatif, melainkan pada pengelolaan di tingkat negara dalam hal ini pemerintah,â urai Ekonom, Faisal Basri.
Mengutip perkataan Soepomo, Faisal mengatakan bahwa sehebat apapun undang-undangnya, apabila penyelenggara negara kacau, maka kacaulah negara itu. Selain itu, terhadap kekurangan Pemerintah itu, Faisal juga mencontohkan bahwa ternyata selama ini dalam hal investasi, daerah-daerah tak pernah mendapatkan apapun selain pemasukan lewat Pajak Bumi dan Bangunan. âSemua pendapatan pajak langsung masuk ke pusat dan daerah tak dapat apa-apa.â Jelas Faisal. (Wiwik Budi Wasito)