Para mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro Lampung berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/5). Peneliti MK Abdul Ghoffar menerima kunjungan tersebut di ruang delegasi lantai 4 Gedung MK. Membuka paparannya, Goffar menyinggung alasan pentingnya bernegara.
Menurutnya, negara memiliki tatanan sosial dari tingkat paling dasar sampai tingkat paling atas. “Ada rukun tetangga, rukun warga, desa sampai kecamatan, kabupaten, provinsi dan negara. Masalahnya adalah kenapa ada struktur seperti itu? Kenapa kemudian kita tidak menjadi manusia yang bebas, hidup tanpa aturan? Kenapa ada orang lain memiliki kewenangan menghukum kita? Kenapa semua itu ada? Hal ini kemudian menjadi pertanyaan yang paling prinsip ketika kita berbicara soal negara. Dari mana asal muasal negara?” urai Ghoffar.
Menjawab hal tersebut, para pakar menarik ke beberapa teori. Misalnya, Teori Alamiah, Teori Ciptaan Tuhan, dan Teori Kekuatan. Ia menjelaskan dulu ada anggapan bahwa seorang raja lahir memang sudah ditunjuk oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin. Tuhan percaya pada orang itu untuk memimpin rakyatnya dan turunan dari raja itu meneruskan menjadi raja lagi.
“Ada juga yang mengatakan bahwa Tuhan sebenarnya tidak menunjuk seseorang menjadi pemimpin. Tapi karena dia dirasa paling kuat, paling pintar, paling gagah, kemudian dia ditunjuk menjadi pemimpin. Itu kemudian yang melahirkan Teori Kekuatan,” jelas Ghoffar.
Lambat laun, teori-teori tersebut dihilangkan hingga muncul Teori Kontrak Sosial. Dijelaskan Ghoffar, dalam praktiknya, Teori Kontrak Sosial ini belum pernah dilakukan sehingga bisa dikatakan imajiner. “Kecuali pada masa Yunani kuno atau ketika masa Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam melalui Piagam Madinah,” imbuhnya.
Kontrak sosial tersebut, sambung Ghoffar, melahirkan sebuah piagam yang dikenal dengan sebutan Konstitusi. “Apa yang dimaksud dengan Konstitusi? Sejatinya, Konstitusi adalah kontrak antara rakyat dan penguasa. Saya katakan kontrak sosial antara rakyat dan penguasa adalah imajiner karena memang rakyat tidak pernah duduk bersama pemimpinnya. Tahun 1945 penduduk Indonesia berjumlah sekitar 90 juta orang. Namun yang duduk bareng bersama pemimpin Indonesia hanya 45 orang,” paparnya.
Lebih lanjut, Ghofar menerangkan paham konstitusionalisme. Paham tersebut mengatakan bahwa bernegara harus berdasarkan pada Konstitusi. Tetapi, imbuhnya, ketika Konstitusi itu dibuat tidak ada satu pun yang diberikan kewenangan untuk menjaga kontrak rakyat dengan penguasa tersebut. “Dulu yang menjadi penafsir tunggal adalah Presiden. Selebihnya tidak,” tegasnya.
Setelah perubahan UUD 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia menerapkan mekanisme checks and balances yang sangat ketat. Pasca amandemen, antarlembaga negara terjadi pemisahan yang ketat. Misalnya, dalam kekuasaan kehakiman, Presiden tidak bisa masuk. Dalam kekuasaan eksekutif, Mahkamah Agung tidak bisa masuk. Dengan demikian, lanjutnya, kedudukan semua lembaga negara adalah setara. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.
“Kalau dulu, MPR menjadi penengah ketika terjadi sengketa kewenangan antara lembaga negara. Saat ini, ketika kedudukan semua lembaga negara setara, maka MK yang memutus perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Itulah yang menjadi alasan MK hadir. Salah satu kewenangan MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara,” ujarnya.
Kunjungan Universitas Pancasila
Pada hari yang sama, Goffar juga menerima 49 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Pancasila Jakarta. Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa menanyakan soal maraknya isu sara di Indonesia. Dengan situasi seperti itu, apakah Konstitusi perlu juga diubah untuk mengatasi persoalan tersebut.
Menjawab hal tersebut, Ghoffar menjelaskan Konstitusi tidak perlu diubah karena sejatinya, Konstitusi dapat mengikuti perkembangan zaman. “Menurut saya, tidak perlu diubah. Konstitusi yang hidup adalah Konstitusi yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Dalam arti, perubahan kondisi-kondisi tertentu yang tidak terlalu signifikan tetapi bisa berbahaya, hal itu belum tentu harus melalui perubahan Konstitusi,” tandasnya.
(Nano Tresna Arfana/lul)