Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (17/5) dengan agenda perbaikan permohonan. Hadir dalam persidangan Aktivis Sri Bintang Pamungkas selaku Pemohon perkara Nomor 18/PUU-XV/2017.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo, Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan, antara lain memperbaki format pengajuan permohonan dan menjabarkan lebih spesifik potensi kerugian konstitusional yang dialami Pemohon akibat berlakunya UU Perbendaharaan Negara. “Saya juga menambahkan penjelasan lebih detail mengenai pengertian ‘kedaluwarsa’ dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” ujarnya.
Dalam sidang perdana, Pemohon mempersoalkan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara terkait adanya batasan kedaluwarsa terhadap hak tagih pembayaran pensiun bagi pegawai negeri. Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara menyebutkan, “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Selama 37 tahun, Pemohon mengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Terhitung bulan Juli 2010, ia menjadi pensiunan pegawai negeri sipil (PNS). Saat pensiun, Pemohon belum memiliki Surat Keterangan Penghentian Pemberian Gaji (SKPP). Pada 6 Oktober 2016, ia menyerahkan SKPP ke PT. Taspen dan diperoleh perhitungan ada kekurangan 16 bulan dari 76 bulan pensiun yang seharusnya diterima. Menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, masa berlaku maksimum pembayaran pensiun yang bisa dibayar kepada Pemohon adalah 60 bulan. Hal tersebut mengakibatkan ia menderita kerugian materiil sebesar 16 bulan uang pensiun yang seharusnya dapat diterima Pemohon.
Menurutnya, frasa “jatuh tempo” adalah istilah yang biasa dipakai manakala batas waktu yang diwajibkan perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis. Sedangkan menurutnya, tidak ada perjanjian apapun yang dibuat antara PNS dengan pemerintah. Dengan demikian, seharusnya frasa “jatuh tempo” pada Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Seharusnya, menurut Pemohon, dalam sebuah perjanjian, hak tagih berupa pelanggaran atas batas waktu pembayaran utang atau piutang yang jatuh tempo bisa dikenakan “hukuman” berupa denda. Pemohon berpendapat ak tagih dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara diterapkan secara multitafsir. Menurut Pemohon, Pengenaan denda dengan pembatasan pembayaran untuk 5 tahun dengan alasan “hak tagih yang terlambat atau kedaluwarsa” telah mengurangi hak atas penghidupan yang layak sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Pemohon juga menilai Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang telah memberi apresiasi tinggi kepada PNS maupun pegawai swasta yang bekerja di bidang pendidikan. Selain itu, ketentuan tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 karena telah mengurangi sumber penghidupan pensiunan PNS dan mengakibatkan mereka akan jatuh miskin.
(Nano Tresna Arfana)