Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 42 mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Senin (15/5). Kunjungan tersebut disambut Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi (P4TIK) Noor Sidharta di ruang delegasi lantai 4 Gedung MK.
Mengawali paparannya, Sidharta menjelaskan Konstitusi pasca-reformasi, yakni terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Perubahan tersebut, jelasnya, menyentuh banyak aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Jika menilik pada Konstitusi negara lain, Sidharta menjelaskan ada Konstitusi yang sifatnya selalu berubah dan ada yang tetap. “Bahkan negara Inggris Konstitusinya tidak bersifat tertulis. Adapun negara yang sering berubah konstitusinya adalah Perancis,” urainya.
Terkait UUD 1945, Sidharta menjelaskan terdapat perubahan fundamental dalam ketatanegaraan Indonesia. Misalnya, tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara yang dulu direpresentasikan MPR. Seluruh lembaga negara yang ada dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. “Istilahnya dulu bersifat vertikal hierarki, lalu bertransformasi menjadi horizontalis,” ujarnya.
Selain itu, juga muncul lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun lembaga negara yang dulu ada pada orde baru, yakni Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus.
Lebih lanjut, Shidarta menjelaskan MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar amanat UUD 1945. Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
MK, lanjutnya, adalah lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan Hakim Konstitusi. Para Hakim Konstitusi tersebut, jelasnya, merupakan representasi pilihan dari Mahkamah Agung (MA), Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Perinciannya masing-masing berjumlah tiga orang dari pilihan tiap lembaga,” imbuhnya.
Tanya Jawab
Salah satu mahasiswa, Iriawan, menanyakan apakah MK memiliki program sosialisasi Konstitusi dan Pancasila. Menjawab hal itu, Sidharta menjelaskan MK memiliki Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK) yang digagas sejak tahun 2011.
Menurutnya, Pusdik MK tercetus ketika para pimpinan lembaga negara sering melaksanakan pertemuan rutin. Salah satu hal yang menjadi keprihatinan pada pertemuan tersebut adalah rendahnya pemahaman publik terkait Pancasila. “Dari situ ide membentuk pusat kajian tentang Pancasila dan Konstitusi bergulir. MK di bawah pimpinan Mahfud MD lalu mendirikan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di daerah Cisarua, Bogor tahun 2013,” jelasnya.
Penanya kedua, Ramdhani, bertanya terkait kewenangan MK untuk membentuk undang-undang setelah undang-undang lama dibatalkan oleh MK. Sidharta menyebut MK adalah lembaga pengadilan yang bersifat pasif sehingga tidak memiliki kewenangan tersebut. “Misal ada undang-undang yang dibatalkan, MK tak bisa membuat undang-undang baru sebagai penggantinya. Pembuatan undang-undang tetap merupakan kewenangan DPR bersama dengan Presiden,” tegasnya.
(ARS/lul)