Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 103 mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang, Selasa (16/5). Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso menerima kunjungan tersebut di Ruang Delegasi Lantai 4.
Mengawali paparannya, Fajar menyampaikan keprihatinannya dengan kasus yang dialami mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Dia berharap kasus tersebut menjadi kasus yang terakhir bagi MK. Meskipun demikian di tengah-tengah “prahara” yang melanda MK, Fajar menyebut atensi masyarakat terhadap MK tidak berkurang. “Jumlah kunjungan publik ke MK tak berkurang sama sekali,” katanya.
Pengunjung yang datang, jelasnya, tidak hanya dari kalangan mahasiswa saja. Siswa SMA, SMP, bahkan SD tercatat banyak berkunjung ke MK. Kebanyakan mereka ingin melihat Pusat Sejarah Konstitusi di lantai 5 dan 6 Gedung MK. Sebab, di sana terdapat penjelasan tentang perkembangan sejarah Konstitusi di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan.
“Inilah salah satu fungsi non-yudisial dari MK, yakni untuk ikut bertanggung jawab dalam memberikan pemahaman peningkatan terhadap hak konstitusional warga negara,” tambah Fajar kepada para mahasiswa.
Selanjutnya, Fajar menjelaskan awal terbentuknya ide terbentuknya constitutional court atau MK. Fajar menjelaskan ide terbentuknya MK dimulai dari kebutuhan untuk menguji produk legislasi. Undang-undang sebagai produk legislasi dinilai perlu untuk dapat diuji karena undang-undang lahir dari proses politik di Parlemen.
Ide mengenai pengujian undang-undang atau judicial review tersebut pertama kali muncul di Amerika Serikat saat Sekretaris Negara John Marshall memperkenalkan mekanisme judicial review untuk menyelesaikan sengketa antara Marbury dengan Madison pada tahun 1803. “Sedangkan ide kelembagaan constitutional court muncul di Austria lewat ide Hans Kelsen pada tahun 1919,” jelas Fajar.
Di Indonesia, sambung Fajar, gagasan dibentuknya MK sebenarnya sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, Mohammad Yamin sudah mencetuskan ide perlunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review bernama Balai Agung. Namun, ide Yamin saat itu dimentahkan oleh Soepomo dengan alasan Indonesia yang baru merdeka belum memiliki banyak ahli hukum. Ide pembentukan Balai Agung tersebut terus bergulir hingga akhirnya pada 13 Agustus 2003, MK secara resmi lahir dalam tatanan ketatanegaraan Indonesia.
Meski kewenangan MK sudah diatur langsung oleh Konstitusi, Fajar menjelaskan tetap ditemukan berbagai permasalahan, termasuk permasalahan implementasi yang berujung pada pelemahan eksistensi MK, di antaranya terkait pelaksanaan Putusan MK. “Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tentu saja mengandung pro kontra, terlebih MK tidak bisa melakukan intervensi agar implementasi putusan MK dilakukan,” jelasnya.
Fajar pun menjelaskan sejak dibentuk pada 2003, MK sudah memutus lebih dari 1000 putusan. Sebanyak 200 putusan telah dikabulkan MK.
(ARS/lul)