Tiga perusahaan, yakni PT Tunas Jaya Pratama, PT Mappasinndo, dan PT Gunung Bayan Pramatacoal memperbaiki permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU Pajak Daerah), Selasa (16/5) di ruang sidang MK. Dalam sidang perkara Nomor 15/PUU-XV/2017 tersebut, Pemohon yang diwakili Ali Nurdin menyampaikan tiga catatan perbaikan sesuai dengan nasihat Hakim Konstitusi pada sidang sebelumnya.
Perbaikan yang dilakukan antara lain menambahkan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang menyatakan alat berat bukan moda transportasi. Namun, putusan tersebut tidak diberlakukan pada UU Pajak Daerah. “Padahal putusan MK, selain final dan mengikat bersifat erga omnes,” ujarnya.
Selain itu, Pemohon juga memperkuat dasar argumentasi penggunaan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji dan melakukan sejumlah perbaikan redaksional.
Pemohon juga melampirkan surat tagihan pajak untuk alat beratnya. “Kami melampirkan surat tagihan pajak dari Kabupaten Mappi. Dalam ketentuan Kemendagri, pada pokoknya alat berat masuk kategori kendaraan bermotor,” terang Nurdin di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra.
Dalam sidang perdana, Pemohon menyampaikan Putusan MK yang menyatakan alat berat bukan moda transportasi sehingga syarat kendaraan bermotor dalam UU LLAJ tidak boleh diterapkan kepada alat berat. Namun, alat berat masih dikenakan pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor sebagaimana diatur UU Pajak dan Retribusi Daerah.
“Sesuai keputusan MK yang lalu, alat berat sudah diputuskan bukan lah kendaraan bermotor, sedangkan dalam UU Pajak dan Retribusi Daerah yang diujikan ini, di beberapa wilayah seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua diberlakukan pajak pada alat berat layaknya kendaraan bermotor,” jelas Nurdin.
Pasal 1 angka 13 menyebutkan, “Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.”
Pasal 5 ayat (2) menyebutkan “Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alar besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor.”
Pasal 6 ayat (4) menyebutkan, “Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).”
Pasal 12 ayat (2) menyebutkan “Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut: 1) penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan 2) penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).”
Menurut Pemohon, pajak yang disamakan dengan kendaraan bermotor tersebut berakibat pada dikenakannya denda, kurungan atau pidana, bahkan penagihan pajak dengan paksa pada pemilik alat berat. Dengan demikian, terdapat adanya pelanggaran atas hak konstitusional dan perlakuan yang diskriminatif.
Pemohon menekankan pada hakikatnya tidak keberatan dengan adanya pajak atau retribusi, namun bukan berdasar ketentuan yang berlaku bagi kendaraan bermotor. Hal tersebut lantaran dasar hukum atas pengertian alat berat yang bukan moda transportasi sebagaimana Putusan MK.
(Sri Pujianti/lul)