Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Abdul Ghoffar menerima 100 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Tangerang, Senin (15/5) di ruang delegasi lantai 4 Gedung MK.
Dalam paparannya, Ghoffar menyampaikan peran MK dalam mengawal demokrasi. Menurutnya, demokrasi akan selalu memenangkan mayoritas. “Bahkan ketika melanggar norma, demokrasi ketika diketok menjadi suatu peraturan, itu harus diikuti. Sementara untuk minoritas, apakah terjadi tirani atau tidak, itu bukan urusan,” katanya kepada para mahasiswa.
Cacat bawaan dari demokrasi tersebut, lanjutnya, tidak bisa dibiarkan. Kondisi demikian kemudian diperhadapkan dengan konsep nomokrasi yaitu pemerintahan berdasarkan norma. Dijelaskan Ghoffar, MK adalah lembaga yang memegang nomokrasi. MK akan mengawal apakah demokrasi yang dijalankan pemerintahan melanggar norma atau tidak. “Hal itu harus diuji di Mahkamah Konstitusi,” ungkap Ghoffar.
Oleh karena itu, Ghoffar menyebut tidak mengherankan apabila sebuah produk undang-undang yang telah dibuat oleh Presiden dan DPR dibatalkan oleh kalangan biasa. “Misalnya, ada sekuriti yang menggugat UU Ketenagakerjaan dan dikabulkan MK. Ataupun guru asal Jawa Timur yang menggugat anggaran pendidikan karena tidak sesuai dengan APBN. Gugatan ini pun dikabulkan MK,” jelasnya.
Ghoffar melanjutkan dalam menjalankan tugasnya, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, di antaranya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan memutus sengketa antara lembaga negara.
“Misalnya pernah terjadi dispute antara Presiden dengan DPR soal Newmont yang diselesaikan di MK. Kenapa ini bisa terjadi? Karena setelah perubahan UUD 1945, kedudukan antara lembaga negara sejajar. Tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang dulu dipegang MPR. Posisi seperti ini kemudian rawan sengketa,” paparnya.
Selain dua kewenangan tersebut, MK mempunyai kewenangan untuk memutus pembubaran partai politik serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR terkait dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum maupun perbuatan tercela.
(Nano Tresna Arfana/lul)