Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/5) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili oleh Agus Haryadi selaku Staf Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Bidang Hubungan Antarlembaga.
Dalam keterangannya, Agus mengatakan tindak pidana makar terdiri atas beberapa macam bentuk tindak pidana. Misalnya, makar dengan maksud untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara ke bawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara. Contoh lain adalah makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa Presiden atau Wakil Presiden dan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah.
“Tindak pidana dengan maksud menggulingkan pemerintah menyebabkan munculnya beberapa pengaturan tindak pidana makar untuk mengamankan jalannya pemerintahan yang sedang berlangsung,” ucap Agus kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Menanggapi permohonan Pemohon yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP sepanjang kata makar, Pemerintah berpendapat Pemohon hanya memaknai kata makar sesuai makna kata dari bahasa Belanda, yakni aanslag yang artinya serangan. “Atau dengan kata lain, Pemohon hanya memaknai secara sederhana dan tidak dimaknai sebagai norma hukum,” ungkap Agus dalam sidang perkara Nomor 7/PUU-XV/2017.
Menurut Pemerintah, pemaknaan makar secara sederhana dapat dipahami oleh siapa pun. Pemaknaan tersebut juga dapat digunakan secara umum sesuai kebutuhan secara bahasa, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sedangkan pemaknaan makar secara norma hukum merupakan pemaknaan yang diarahkan untuk menjadi makna yang mengikat sesuai kebutuhan yang akan difungsikan untuk suatu tujuan.
“Norma hukum merupakan aturan yang dibuat dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan, sehingga norma hukum mempunyai tujuan,” paparnya.
Dikatakan Agus, ketentuan pasal-pasal yang diujikan Pemohon merupakan norma hukum yang diatur sesuai kebutuhan oleh pembentuk peraturan dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai.
“Politik hukum pasal-pasal a quo adalah untuk memberikan rasa aman dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini terlihat dengan diaturnya beberapa pasal dengan gradasi pasal yang bertahap serta sanksi yang berbeda-beda. Sehingga pasal-pasal tersebut merupakan instrumen hukum bagi negara untuk bertindak, baik dari tindakan pencegahan sampai dengan tindakan penanganan perbuatan pidana makar,” urai Agus.
Dengan demikian, imbuhnya, Pemerintah menilai Pemohon tidak melihat secara kepentingan negara dalam pengaturan pidana makar tersebut. Pemohon, menurut Pemerintah, hanya melihat dari segi analogi saja.
“Hal ini terlihat pada permohonan yang menguji terhadap seluruh pasal makar yang tercantum dalam KUHP. Secara tidak langsung Pemohon ingin menjadikan kata makar dalam KUHP menjadi bukan norma hukum, melainkan hanya memaknai secara sederhana,” tandas Agus.
Pemohon adalah Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Syahrial Wiriawan Martanto bersama rekan-rekannya. Pemohon menilai tidak ada kejelasan dari definisi kata makar dalam KUHP yang merupakan terjemahan dari kata aanslag. Menurut Pemohon, makar bukan bahasa Indonesia yang dipahami, melainkan dari bahasa Arab. Sedangkan aanslag artinya serangan. Pemohon menilai tidak jelasnya penggunaan frasa aanslag yang diterjemahkan sebagai makar telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag.
(Nano Tresna Arfana/lul)