Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (3/5). Pemohon mempermasalahkan pengosongan kolom kepercayaan di KTP dan KK dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (5) dan ayat (10). Dalam sidang ketujuh tersebut, Pemohon menghadirkan Ahli Agama dan Budaya UGM Samsul Maarif.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Samsul menjelaskan sejarah penganut kepercayaan di Indonesia. Kelompok tersebut sejak dulu sudah mendapatkan diskriminasi sejak awal kemerdekaan. “Di tahun 60-an, kepercayaan dianggap bukan agama. Ini mengacu definisi agama dari Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) yakni agama mesti memiliki nabi, kitab suci, serta diakui internasional,” jelasnya dalam sdang perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Berlanjut di tahun 1978, Samsul menjelaskan munculnya TAP MPR Nomor 478 yang isinya menyebut kepercayaan termasuk dalam kategori kebudayaan. Selain itu, hanya lima agama yang hanya diakui di Indonesia, juga terdapat kewajiban menuliskan agama di kolom KTP. “Di sini terjadi diskriminasi. Penganut kepercayaan diwajibkan memilih salah satu dari 5 agama resmi di Indonesia,” tegasnya.
Masuk dalam masa reformasi, jelasnya, situasi lebih membaik. Kajian terkait aliran kepercayaan semakin intens di tengah masyarakat. Namun, keadaan masih jauh dari ideal. Penganut aliran kepercayaan, jelas Samsul, mengosongkan kolom agama di KTP.
“Ini dalam realita di lapangan menimbulkan diskriminasi pelayanan publik. Misal, di kolom agama kosong lalu ditanya macam-macam. Selanjutnya, ada perbedaan dalam pelayanan pada penganut kepercayaan,” ujarnya. Padahal, tegas Samsul, negara meski adil dan setara dalam memberikan pelayanan ke publik apapun agama atau kepercayaannya.
Dia menyebut perlakuan negara terhadap penganut aliran kepercayaan menimbulkan stigma sosial buruk bagi mereka. Stigma tersebut menjelma menjadi norma sosial. “Celakanya lagi, ini berlanjut mengkristal menjadi norma hukum,” imbuhnya.
Tanggapan Hakim
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan hakikatnya cara berpikir hukum adalah mengangkat fakta di masyarakat menjadi norma. Terkait hal itu, Saldi mempertanyakan apabila penganut kepercayaan mencantumkan kepercayaannya di kolom KTP, apa semua aliran kepercayaan berhak ditulis di kolom KTP. Sebab, faktanya jumlah aliran kepercayaan di Indonesia sangat banyak.
Sementara, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencoba mempertajam keterangan ahli. Apakah sebaiknya kepercayaan dianggap sebagai agama atau terkait problem pelayanan publik pada penganut aliran kepercayaan.
Samsul menyebut yang ingin dicapai adalah perlakuan setara bagi penganut kepercayaan. Dirinya menegaskan tak mau masuk dalam hal semantik. Adapun terkait teknis pencantuman nama aliran kepercayaan, bisa didiskusikan kembali lebih mendalam. Sebab jenis aliran kepercayaan di Indonesia banyak sekali jumlahnya.
Permohonan diajukan oleh Nggay Mehang Tana dkk yang merupakan penganut kepercayaan. Pemohon menguji Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan.
Menurut Pemohon, ketentuan yang diujikan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Dalam rumusannya, tertulis bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pengosongan kolom agama pada KTP elektronik bagi penganut kepercayaan, menurut Pemohon, mengakibatkan Pemohon sebagai warga negara tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya, sehingga melanggar UUD 1945.
(ARS/lul)