Aktivis Sri Bintang Pamungkas menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara). Dalam sidang perkara Nomor 18/PUU-XV/2017, Bintang Pamungkas mempersoalkan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara terkait batasan kedaluwarsa terhadap hak tagih pembayaran pensiun bagi pegawai negeri.
Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara menyebutkan, “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Selama 37 tahun, Pemohon mengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan terhitung mulai bulan Juli 2010, ia menjadi pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Saat pensiun, Pemohon belum memiliki Surat Keterangan Penghentian Pemberian Gaji (SKPP). Pada 6 Oktober 2016, Pemohon menyerahkan SKPP ke PT. Taspen dan diperoleh perhitungan ada kekurangan 16 bulan dari 76 bulan pensiun yang seharusnya diterima. Menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, masa berlaku maksimum pembayaran pensiun yang bisa dibayar kepada Pemohon adalah 60 bulan. Hal itu dinilai merugikan Pemohon secara materiil.
“Bahwa hak tagih terhadap pembayaran pensiun harus bersifat penuh tidak mengenal arti kedaluwarsa karena jasa yang diberikan oleh PNS yang pensiun sudah seluruhnya dipenuhi oleh PNS tersebut,” ujar Pemohon kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Menurut Pemohon, frasa “jatuh tempo” adalah istilah yang biasa dipakai sebagai batas waktu perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis. Menurutnya, tidak ada perjanjian apapun yang dibuat antara PNS dengan pemerintah sehingga seharusnya frasa “jatuh tempo” pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Seharusnya, menurut Pemohon, dalam sebuah perjanjian, hak tagih berupa pelanggaran atas batas waktu pembayaran utang atau piutang yang jatuh tempo bisa dikenakan hukuman berupa denda. Namun, Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara diterapkan secara multitafsir. Pengenaan denda dengan pembatasan pembayaran untuk 5 tahun dengan alasan hak tagih yang terlambat atau kedaluwarsa dinilai Pemohon mengurangi hak atas penghidupan yang layak dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang telah memberi apresiasi tinggi kepada PNS maupun pegawai swasta yang bekerja di bidang pendidikan. Selain itu, ketentuan tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 karena telah memperlakukan pensiunan PNS dengan memberikan “hukuman” yang mengurangi sumber penghidupan mereka dan mengakibatkan pensiunan PNS akan jatuh miskin.
Oleh karena itu, dalam petitum-nya Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara tidak berlaku untuk hak tagih mengenai utang atas beban negara terhadap pembayaran uang pensiun PNS. Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan hak tagih mengenai utang atas beban negara terhadap pembayaran utang pensiun tidak mengenal istilah kedaluwarsa. Dengan demikian, tidak pula dikenal istilah hukuman dalam bentuk apa pun yang mengurangi besarnya pembayaran pensiun, semisal batas maksimal pembayaran senilai lima tahun
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan Pemohon tidak menjelaskan kedudukan hukum secara detail. “Siapa itu Pemohon, perorangan atau mengatasnamakan sebuah lembaga? Selain itu, Pemohon mesti menjelaskan kerugian konstitusional dari berlakunya undang-undang yang diuji. Kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang menurut Pemohon dirugikan,” jelas Maria.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati subtansi permohonan Pemohon cukup menarik. Sebab, kasus yang dialami Pemohon ternyata banyak juga dialami orang lain. “Namun demikian, tolong dalam permohonan, Pemohon memberikan argumentasi yang kuat soal hak tagih. Jadi, mohon pendalaman oleh Pemohon mengenai kerugian-kerugian yang dialami Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang Perbendaharaan Negara,” tandas Suhartoyo.
(Nano Tresna Arfana/lul)