Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terkait pajak dan retribusi daerah terhadap alat berat, Selasa (2/5) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang pendahuluan perkara dengan Nomor 15/PUU-XV/2017 dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, dan Saldi Isra.
Tiga perusahaan kontraktor, yakni PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Japan menguji ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2). Diwakili Ali Nurdin, Pemohon menyampaikan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 pada April 2016 lalu yang menyatakan alat berat bukan moda transportasi sehingga syarat kendaraan bermotor dalam UU LLAJ tidak boleh diterapkan kepada alat berat. Namun, alat berat masih dikenakan pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor sebagaimana diatur UU Pajak dan Retribusi Daerah.
“Sesuai keputusan MK yang lalu, alat berat sudah diputuskan bukan lah kendaraan bermotor, sedangkan dalam UU Pajak dan Retribusi Daerah yang diujikan ini, di beberapa wilayah seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua diberlakukan pajak pada alat berat layaknya kendaraan bermotor,” jelas Nurdin.
Pasal 1 angka 13 menyebutkan, “Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alatalat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.”
Pasal 5 ayat (2) menyebutkan “Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor.”
Pasal 6 ayat (4) menyebutkan, “Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).”
Pasal 12 ayat (2) menyebutkan “Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut: 1) penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan 2) penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).”
Menurut Pemohon, pajak yang disamakan dengan kendaraan bermotor tersebut berakibat pada dikenakannya denda, kurungan atau pidana, bahkan penagihan pajak dengan paksa pada pemilik alat berat. Dengan demikian, terdapat adanya pelanggaran atas hak konstitusional dan perlakuan yang diskriminatif.
Pemohon menekankan pada hakikatnya tidak keberatan dengan adanya pajak atau retribusi, namun bukan berdasar ketentuan yang berlaku bagi kendaraan bermotor. Hal tersebut lantaran dasar hukum atas pengertian alat berat yang bukan moda transportasi sebagaimana Putusan MK.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Palguna menilai penggunaan istilah diskriminatif dalam permohonan kurang tepat. “Terhadap dalil tentang diskriminatif yang diajukan Pemohon, itu kurang pas mengingat diskriminatif di sini punya pengertian yang berbeda. Di samping itu, soal teknis dalam petitum yang merinci satu-satu pasal yang didalilkan tidak punya kekuatan hukum itu sebaiknya digabung saja sehingga lebih singkat, jelas, dan efisien,” tegasnya.
Sejalan dengan itu, Saldi pun mengingatkan Pemohon untuk berhati-hati terhadap alasan-alasan permohonan. “Pemohon diharapkan berhati-hati dan perlu memberikan penjelasan yang lebih konkret terhadap uji yang sama, tetapi perbedaannya itu yang perlu lagi dijelaskan dengan baik. Hal lainnya adalah pengutipan terhadap pasal-pasal ada yang keliru, jadi harap diperhatikan,” jelasnya.
Sementara, menurut Maria, permohonan masih kurang tegas dan tajam. “Masih terdapat ketidakktegasan dalam dua penafsiran yang diajukan Pemohon. Diharapkan sepanjang mana dua tafsir tersebut membuat kerugian Pemohon, jadi perlu adanya penajaman akan hal tersebut,” tutupnya.
(Sri Pujianti/lul)