Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (Perpu 51/1960) dengan agenda penyampaian keterangan Ahli Pemerintah, keterangan DPR dan Saksi Pemohon. Penundaan tersebut akibat dari tidak hadirnya ketiga pihak dimaksud.
“DPR menyampaikan keterangan tertulis. berhalangan hadir karena masih masa reses. Kemudian bagaimana dengan Ahli Pemerintah, apakah bisa hadir sekarang?” tanya Ketua MK Arief Hidayat kepada para wakil Pemerintah yang hadir dalam sidang perkara Nomor 96/PUU-XIV/2016, Selasa (2/5) siang.
Namun, Pemerintah menyampaikan permohonan maaf karena Ahli Pemerintah belum bisa dihadirkan dalam sidang kali ini. Ahli Pemerintah baru bisa dihadirkan pada sidang berikutnya. Pernyataan senada juga disampaikan pihak Pemohon. Saksi Pemohon baru bisa dihadirkan dalam sidang berikutnya.
“Baik kalau begitu. Sidang lanjutan Perpu 51/1960 akan digelar pada 16 Mei mendatang. Agendanya adalah penyampaian keterangan Ahli Pemerintah, Saksi Pemohon, ditambah dengan Pihak Terkait,” ujar Arief yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Permohonan dimohonkan oleh Rojiyanto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi. Para Pemohon adalah korban penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Rojiyanto merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara. Ketika proses penggusuran, ia mengaku mengalami kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut Pemohon mengajukan gugatan ke pengadilan hingga pada tingkat kasasi, namun tetap kalah. Putusan pengadilan menyebutkan bahwa Perppu 51/1960 tidak mewajibkan Pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Adapun Mansur Daud merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Sementara Rando merupakan seorang pelajar dan akibat dari penggusuran ia terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perppu 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara.
(Nano Tresna Arfana/lul)