Sejumlah pekerja memperbaiki permohonan atas aturan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para pekerja yang berstatus suami-istri dalam satu perusahaan seperti yang tercantum dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Sidang perbaikan permohonan perkara dengan Nomor 13/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi, Rabu (5/4) di Ruang Sidang MK.
Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan menyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: (f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”
Dalam perbaikan permohonannya, pemohon menekankan pada bagian akhir kalimat dari Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, “..., kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”.
Jhoni Boetja, salah satu dari enam pemohon yang hadir, menyampaikan frasa tersebut menimbulkan beberapa permasalahan terkait dari hak seorang pekerja yang juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 2 UU Perkawinan.
Lebih lanjut, ia menilai frasa dalam ketentuan yang diujikan berpotensi menimbulkan pasangan memilih tidak jadi menikah dan tinggal bersama tanpa ikatan yang sah. Di samping itu, menurut pemohon, jika moral seseorang baik maka perkawinan sesama pegawai adalah keuntungan bagi perusahaan dalam hal jaminan kesehatan, baik untuk istri, suami, dan anak-anak dari perkawinan pasangan pegawai perusahaan tersebut.
“Adapun kekhawatiran terhadap unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme, hal itu tidak mungkin dan tergantung dari mentalitas seseorang.” Jelas Jhoni di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Pada akhir perbaikan permohonannya, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “...,kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
(Sri Pujianti/lul)