Perjanjian internasional didasarkan pada hukum internasional dan mengatur kepentingan publik dan bukan mengikat badan hukum perdata. Oleh karena itu, perjanjian internasional termasuk dalam ranah hukum publik. Sementara kontrak kerja sama (KKS) yang dibuat Pemerintah melalui BP Migas merupakan bentuk kontrak bagi hasil sehingga tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Penegasan tersebut disampaikan oleh Lukman Hakim Saifuddin, Anggota DPR yang menjadi kuasa hukum DPR saat membacakan keterangan resmi DPR RI atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/11). Lukman juga menegaskan bahwa UUD 1945 memberikan kewenangan pengawasan terhadap perjanjian internasional adalah DPR sebagai lembaga, bukan perorangan anggota DPR.
Terkait dengan status para Pemohon yang juga anggota DPR sebagai lembaga Negara yang membuat undang-undang, Lukman berpendapat bahwa langkah para Pemohon mengajukan uji materiil UU Migas terhadap UUD 1945 ke MK kurang tepat. âJika Pemohon menganggap UU Migas bertentangan dengan UUD, sebaiknya Pemohon sebagai anggota DPR yang memiliki hak mengajukan rancangan undang-undang, hendaknya mengajukan legislative review di DPR,â sarannya.âOleh karena itu, kedudukan hukum para Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 50 Ayat (1) UU MK,â katanya menambahkan.
Perkara uji materiil Pasal 11 Ayat (2) UU Migas ini dimohonkan oleh Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy. Kedelapan Pemohon tersebut adalah juga merupakan Anggota DPR-RI dari berbagai fraksi. Mereka menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, karena ketentuan tersebut menyebabkan Pemerintah c.q. BP Migas hanya wajib memberitahukan kepada DPR setiap kontrak kerja sama (KKS) atas bagi hasil eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang dibuat dengan para kontraktor, terutama kontraktor asing. Menurut para Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan tersebut, sebagai Anggota dan/atau bagian dari DPR-RI mereka telah kehilangan hak konstitusionalnya untuk memberikan persetujuan atau untuk menolak memberikan persetujuan atas perjanjian KKS tersebut.
Selain mendengarkan keterangan DPR, dalam persidangan tersebut juga didengarkan keterangan para Ahli yang diajukan oleh Pemohon dan Pemerintah. Ryad Areshman Chairil, ahli bidang kemigasan dan kontrak-kontrak migas yang diajukan oleh Pemohon mengatakan, kontrak kerja sama migas memiliki akibat dan dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat. Menurut Ryad, hal tersebut dapat dilihat dalam bagian Pertimbangan UU Migas yang menegaskan bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Lebih lanjut Ryad juga menjelaskan bahwa kontrak kerja sama membawa dampak terhadap beban keuangan negara. Biaya-biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor atau yang biasa disebut cost recovery apabila kontraktor telah berhasil memproduksi migasnya secara komersil, akan diganti oleh negara. âMulai dari biaya pengeboran sampai biaya administrasi. Untuk itu, pentingnya dilakukan pengawasan oleh DPR terhadap kontrak-kontrak kerja sama tersebut,â jelasnya.
Ahli Pemohon lainnya, Muhammad Said Nisar menjelaskan bahwa hukum internasional merupakan hukum yang dibuat oleh negara-negara pemenang perang untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. âSetiap modal yang keluar dari negara industri maju, dikawal oleh prinsip-prinsip hukum internasional,â ungkapnya. Ia juga mengungkapkan bahwa KKS tidak berdiri sendiri dan terkait dengan aturan-aturan lain seperti perjanjian perdagangan internasional antar negara.
Sedangkan Hikmahanto Juwana, ahli hukum internasional yang diajukan oleh Pemerintah menjelaskan subyek hukum internasional adalah negara dan organisasi internasional serta entitas hukum internasional lainnya yang mempunyai kemampuan membuat perjanjian dengan negara. Sementara perjanjian-perjanjian bisnis internasional, bukan merupakan bagian dari hukum internasional, meskipun pemerintah berperan dalam perjanjian tersebut.
âDalam perjanjian bisnis internasional seperti kontrak kerja sama migas, negara menjadi subyek hukum perdata internasional, bukan subyek hukum internasional. Istilah populernya, negara sebagai pedagangâ, kata Hikmahanto. Dengan demikian, lanjutnya, KKS tidak termasuk dalam kategori âperjanjian internasional lainnyaâ sebagaimana diatur oleh Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 sehingga tidak perlu ada pengawasan sebelumnya oleh DPR.
Sependapat dengan hal tersebut, ahli Pemerintah lainnya Zen Umar Purba berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena KKS bukan merupakan bagian dari perjanjian internasional. Dengan demikian, kata Zen Umar, tidak ada hak konstitusional dari Pemohon yang dirugikan oleh keberadaan ketentuan tersebut. [ardli]