Untuk membangun negara kita, kita tidak mempunyai kapital, karena itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan kita. Kita anti kapitalisme, tetapi tidak anti kapital. Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing, karena kita memang kekurangan tenaga ahli.
Demikian sepenggal pernyataan Proklamator, Mohammad Hatta di Gedung Sono Suko, Solo, tahun 1951, sebagaimana dikutip dalam opening statement Pemerintah yang dibacakan oleh Menteri Perdagangan RI, Marie Elka Pangestu, dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perkara No. 21-22/PUU-V/2007 tentang uji UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) terhadap UUD 1945, Selasa (6/11).
Lanjut pihak Pemerintah yang juga dihadiri Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalata, adanya penanaman modal akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena pada gilirannya dapat menyediakan lapangan kerja bagi pengangguran di Indonesia yang kini mencapai sekitar 10 juta orang. âUsaha ini adalah untuk melaksanakan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,â ucap Marie.
Senada dengan Pemerintah, pihak DPR yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya, Mahfud MD, mengatakan bahwa para Pemohon tidak mendalilkan dan mengkonstruksikan secara jelas di mana letak kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon terkait dengan diberlakukannya UU PM ini. âPara Pemohon hanya mendalilkan adanya kekhawatiran yang berlebihan terhadap undang-undang ini,â urai politisi PKB ini.
Lanjut Mahfud, negara juga memiliki keterbatasan dalam pengelolaan ekonomi. Untuk itu negara, melalui kewenangannya, memberi kesempatan bagi pemodal baik dalam maupun luar negeri, untuk berinvestasi. âTapi negara tetap bertanggung jawab dalam hal regulasi. Tanggung jawab negara tidak hilang sebagaimana diamanahkan Pasal 33 UUD 1945,â tambahnya.
Sebelumnya, para Pemohon dalam alasan permohonannya, menyatakan bahwa melalui UU PM ini beragam kemewahan disediakan demi mengundang investasi mulai dari kemudahan pelbagai bentuk pajak, pemberian ijin Hak Guna Usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan dan di manapun, hingga bebas dari masalah nasionalisasi. Sementara, biaya eksternalitas penanaman modal selama ini, di antaranya ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan yang selama ini terjadi, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan UU PM oleh Pemerintah dan DPR RI.
UU PM ini, lanjut Pemohon, mengandung banyak kelemahan karena mengabaikan keadilan distribusi pendapatan sehingga memperlebar jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Di sisi lain, masyarakat Indonesia masih mayoritas miskin dan tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik lainnya. âHal-hal inilah, yang menurut para Pemohon melanggar konstitusi dan mengkhianati cita-cita pembangunan ekonomi nasional yang bersandar pada nilai-nilai kerakyatan atau ekonomi Pancasila,â ucap Kuasa Hukum Pemohon.
Untuk itu, dalam petitumnya Para pemohon perkara No. 21/PUU-V/2007 meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan materi Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan Pemohon perkara No. 22/PUU-V/2007 meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU PM bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu, dalam keterangannya, Ahli dari Pemohon, Ahmad Sodiki mencontohkan bila terjadi konflik atas tanah, pada umumnya investorlah yang dimenangkan sebab investor memiliki segenap kemampuan untuk melakukan pembelaan. Masalah lainnya, lanjut Sodiki, bila konflik tanah muncul justru akan membingungkan aparat hingga di tingkat bawah seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang harus berhadapan dengan rakyat. Dalam catatan sejarah sepanjang orde baru, menurut Sodiki, setiap pembebasan tanah pasti menimbulkan konflik. âApalagi dengan adanya undang-undang ini yang memberikan fasilitas pada pemodal untuk memperoleh hak atas tanah selama 95 tahun, justru semakin menimbulkan ketimpangan. Maka pada prinsipnya, menurut John Rawls, dalam hal ini kebijakan negara harus berpihak pada mereka yang kurang diuntungkan,â jelasnya.
Menyambung keterangan Sodiki, Ahli dari Pemohon, Revrisond Baswir, mengatakan bahwa bangsa ini lahir dari latar belakang terjajah. Penjajahan itu sudah terlanjur membangun struktur perekonomian yang berwatak kolonial. Mengutip ucapan Proklamator Bung Karno, Revrisond mencoba memberi solusi dengan mengatakan Jika di sebelah demokrasi politik belum ada demokrasi ekonomi, maka rakyat Indonesia belumlah merdeka.
Sedangkan Ahli dari Pemohon di bidang Investasi, Salamudin Daeng, menyatakan orientasi ekonomi Indonesia cenderung berorientasi keluar daripada berupaya memperbaiki ke dalam. Padahal, menurut Daeng, negara-negara yang pernah menjajah Indonesia selama ini menempatkan Indonesia sebagai tempat sumber penghidupan. Untuk itu, Daeng meminta Pemerintah saat ini juga mau belajar dari masa lalu. Ahli juga menunjukkan bukti di bidang ketenagakerjaan bahwa sebenarnya penyumbang terbesar bagi pendapatan jasa atau upah pekerja selama ini justru muncul dari sektor pertanian sebesar 47,8%. Sedangkan sektor pertambangan hanya sebesar 5,6%, sektor gas dan listrik sebesar 21,67%, serta sektor keuangan dan jasa sebesar 7,15%. âMelalui data ini terbukti bahwa pemodal asing tak menjamin meningkatnya kesejahteraan rakyat,â ujar Daeng.
Turut menambahkan, Ahli dari Pemohon di bidang politik kebijakan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy justru mempertanyakan mengapa cara berpikir Pemerintah di bidang ekonomi mengacu pada kelemahan yakni persoalan kurangnya investasi, bukannya menyandarkan diri pada kekuatannya yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, dan posisi atau letak geo-ekonomi.
Untuk itu, lanjut Noorsy, seharusnya Pemerintah lebih memikirkan perlindungan bagi rakyat dan aset bangsa. âBila negara memposisikan diri sebagai negara penjaga malam, maka artinya negara tak lebih sebagai pesuruh pemodal saja,â ujar Noorsy.
Menanggapi keterangan para Ahli, Asisten Menteri Bidang Hukum dan Perundangan, Erman Rajagukguk, mengulang sekaligus menegaskan kembali ucapan Bung Hatta sebagaimana telah dikutip sebelumnya bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak menutup kesempatan bagi swasta, baik dalam negeri maupun asing, untuk turut serta mengembangkan perekonomian bangsa.
Mendebat pernyataan tersebut, Revrisond mengatakan bahwa wajar saja bila Bung Hatta saat itu mengatakan hal tersebut karena kala itu Indonesia masih dibelit keterbatasan SDM dan pengetahuan serta modal untuk mensejahterakan rakyat. âNamun kini harusnya Indonesia sudah mampu mengejar ketertinggalan itu semua sehingga tak perlu lagi terlalu bergantung kepada pemodal asing,â ucapnya. (Wiwik Budi Wasito)