Panel 2 sesi dua Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) untuk sejumlah daerah di Provinsi Aceh. Perkara tersebut antara lain PHP Provinsi Aceh (31/PHP.GUB-XV/2017), Kabupaten Aceh Timur (4/PHP.BUP-XV/2017), Kabupaten Nagan Raya (23/PHP.BUP-XV/2017), Kabupaten Bireun (16/PHP.BUP-XV/2017), dan Kabupaten Pidie (15/PHP.BUP-XV/2017). Sidang digelar di Ruang Sidang Lantai 4 MK, Kamis (16/3).
Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf dan T.A Khalid menyebut terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilkada Aceh. Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Kuasa Pemohon Mukhlis Mukhtar memaparkan Paslon Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah menang dengan perolehan suara mencapai 898.710. Adapun pemohon memperoleh sejumlah 766.427 suara dari total pemilih sah sebanyak 2.414. 801. Menurutnya, kemenangan Irwandi-Nova didasarkan atas kecurangan.
“Telah terjadi pelanggaran yang ditemukan Panwaslih Aceh berupa adanya penggelembungan suara di Kabupaten Aceh Tengah kepada pihak terkait. Ini terjadi saat rekapitulasi suara di tingkat Provinsi oleh Termohon tanggal 25 Februari 2017,” jelasnya.
Selain itu, kata Mukhlis, dua minggu jelang pemungutan suara, terjadi nnobilisasi aparat, baik TNI maupun POLRI/BRIMOB, secara besar-besaran ke wilayah Provinsi Aceh. Hal tersebut, menurut pemohon, berdampak pada keresahan masyarakat. Di saat yang bersamaan, masyarakat sering melihat TNI dan POLRI/BRIMOB keluar masuk kampung dengan bersehjata lengkap.
“Pemohon juga menemukan adanya aparat keamanan berada di dalam TPS saat pemungutan suara hingga rekapitulasi suara. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,” kata Mukhlis.
Tak hanya itu, ia pun membeberkan pelanggaran dan kecurangan masif yang dilakukan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh berkaitan dengan dokumen Cl-KWK. Misal, indikasi penggelembungan suara, jumlah suara yang tidak sah berbeda dengan model Cl-KWK, dan tanda tangan saksi-saksi yang berbeda antara C-KWK dan Lampiran Cl-KWK.
“Semuanya terjadi di Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireun, Kabupaten Bener Meriah, Kota Sabang, Kota Langsa, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Barat Daya,” jelasnya.
Mukhlis juga menyebut dalam permohonannya, tidak tepat jika MK menggunakan aturan hukum nasional terkait ambang batas suara (Pasal 158 UU No 10 Tahun 2016). Sebab, Aceh memakai UU Khusus Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Berdasarkan UUPA BAB X Pasal 65 sampai dengan Pasal 74 telah mengatur secara khusus tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Ditambah lagi telah ada Qanun nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pilkada Aceh sebagai regulasi pelaksanaan Pilkada Aceh,” jelasnya.
Progresif
Dalam persidangan yang sama, Kuasa Hukum Pemohon Paslon Bupati dan Wakil Bupati Bireun M Yusuf Abdul Wahab dan Purna Setia Budi, Muhammad Reza Maulana, meminta MK bersikap progresif. Pihaknya meminta MK untuk tidak menafsirkan Pasal 158 UU No. 10/2016, yang mengatur ambang batas selisih suara, secara kaku. Ia pun menjelaskan Paslon Saifannur dan Muzakkar sebagai pihak terkait memperoleh 74.650 suara atau 35,07 persen, sedangkan pemohon memperoleh 60.971 atau 28,65 persen
“MK mesti menafsirkan dengan tak menutup mata pada kecurangan TSM. Sebab, di daerah saya ada teror serta money politic untuk memilih pasangan Saifannur dan Muzakkar,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebut permohonan pemohon bukanlah terkait pengujian undang-undang, tetapi sengketa PHP Kada sehingga tidak tepat apabila meminta MK menafsirkan lain Pasal 158 UU No. 10/2016. Meski demikian, MK tetap akan menerima permohonan meski secara aturan tidak sesuai dengan Pasal 158.
(ARS/lul)