Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945, Rabu (31/10) untuk perkara No. 18/PUU-V/2007 yang dimohonkan oleh Eurico Guterres dengan Kuasa Hukumnya, M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., PhD. Persidangan ini mengagendakan Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon.
Pemohon meminta MK menguji Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM terhadap UUD 1945. Pasal 43 ayat (2) menyatakan: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam penjelasannya tertera: Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Dalam keterangannya, Ahli Pemohon, Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H. mengatakan bahwa untuk membentuk suatu pengadilan HAM ad Hoc, maka seharusnya dibentuk terlebih dahulu UU yang mengatur khusus tentang pengadilan tersebut. âPengadilan tersebut seharusnya tidak mendompleng pada UU Pengadilan HAM yang telah permanen,â ujar pengajar Hukum Pidana Universitas Bhayangkara Surabaya ini.
Lanjut Sholehuddin, campur tangan proses politik itu ada pada pembentukan undang-undangnya. Tapi pada saat proses penegakan hukum, campur tangan politik tak diperbolehkan. âKarena itu dalam pembentukan hukum pidana harus diperhatikan segala aspek yang mempengaruhi, supaya semua penegak hukum tidak mempunyai multitafsir seperti ini,â jelas Sholehuddin.
Terhadap keterangan ahli tersebut, Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM. bertanya, apakah Ahli mengikuti sejarah pembentukan UU Pengadilan HAM ini. Terhadap pertanyaan tersebut, Ahli mengaku tidak mengetahui sama sekali sejarah pembentukannya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pemohon, Mahendradatta mengemukakan bahwa pada praktiknya DPR ternyata melakukan pula tugas penyelidikan yang sebenarnya menjadi tugas dari Komnas HAM. âKlien saya mengalami diinterogasi oleh DPR,â kata Mahendradatta sembari menunjuk Pemohon Prinsipil, Eurico Guterres di sebelahnya.
Terhadap pernyataan di atas, Natabaya mengatakan bahwa MK hanya berwenang memeriksa apakah suatu ketentuan perundang-undangan itu melanggar hak konstitusional, atau tidak. âSeharusnya pertanyaan tersebut diajukan pada persidangan HAM ad Hoc kala itu,â ucap Natabaya.
Sedangkan dari pihak pemerintah, Kabag Litigasi Dephukham, Mualimin Abdi, mengatakan bahwa substansi keterangan ahli lebih baik bila diungkapkan di hadapan anggota DPR sebagai bahan legislative review UU Pengadilan HAM. (Wiwik Budi Wasito)