Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima uji materiil Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Selasa (28/2). Majelis Hakim menilai permohonan perkara Nomor 2/PUU-XV/2017 bersifat kabur (obscuur libel).
"Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya lainnya.
Mahkamah menilai pemohon tidak jelas dalam menerangkan kedudukan hukumnya. Dalam permohonannya, pemohon sebatas menginfokan dirinya sebagai sarjana hukum yang bertugas di DPP Front Pribumi. "Ditambah lagi ada frasa sendiri maupun bersama dalam penjelasan kedudukan hukum. Ini membuat menjadi tak jelas siapa yang dimaksud dalam frasa tersebut," jelas Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul membacakan pertimbangan hukum.
Selain itu, Aswanto menyebut tak ada koherensi antara maksud permohonan pemohon dengan hasil jika permohonan dikabulkan. Pemohon meminta agar calon kepala daerah yang melakukan perbuatan tercela tidak bisa maju ikut pilkada. Tetapi di sisi lain, pemohon meminta MK pasal yang diujikan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. "Padahal pasal tersebut justru mengatur calon pilkada tidak boleh melakukan perbuatan tercela," tegasnya.
Aswanto juga menjelaskan pihaknya tidak mentolerir keterlambatan perbaikan permohonan. Dalam perkara tersebut, MK memakai permohonan awal yang telah diterima. Pemohon memasukkan perbaikan permohonan pada 1 Februari 2017, padahal tenggat waktu adalah tanggal 30 Januari 2017.
Pemohon adalah Suta Widya. Ia memandang kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela tidak patut untuk menjadi peserta pilkada. Jika calon kepala daerah pernah melakukan perbuatan tercela, hal tersebut sangal kontradiktif dengan semangat bela negara. Menurut pemohon, salah satu calon gubernur DKI Jakarta pernah melakukan perbuatan penistaan terhadap agama.
Tindakan tersebut, menurut pemohon, merupakan salah satu bentuk perbualan tercela dan sudah sepatutnya mengundurkan diri dari keikutsertaannya sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Jika tetap melanjutkan keikutsertaannya dalam pilkada, ia menilai hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayal (1) dan (2) UUD 1945.
(ARS/lul)